Mohon tunggu...
Erri Subakti
Erri Subakti Mohon Tunggu... Penulis - Analis Sosial Budaya

Socio Culture Analyst

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kompasianer MBA, Menulis by Accident

20 Oktober 2024   18:42 Diperbarui: 20 Oktober 2024   18:58 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gue mungkin bisa dibilang "Kompasianer" lama nih....

Ya gue register di Kompasiana sejak 2008. Alias sejak 16 tahun lalu Kompasiana yang digawangi oleh Pepih Nugraha jurnalis senior Kompas saat itu bersama Nurulloh sebagai adminnya --sekarang COO---yang menggarap Kompasiana sebagai blog untuk para jurnalis saja awalnya.

Seiring waktu pembaca Kompasiana dan komentar-komentarnya pun ramai dan makin berbobot sehingga Pepih mulai membuka "Gelar Komentar". Komentar yang bagus dan layak untuk jadi artikel dimuat di Kompasiana. Terus akhirnya Pepih juga membuka buat siapapun, gak mesti jurnalis, untuk bisa menulis di Kompasiana. Tapi lewat moderasi admin dulu. Sampai akhirnya Kompasiana dibuka untuk siapapun, hingga disebut "media warga".

Okeh, itu singkat cerita soal Kompasiana.
Kembali ke gue sebagai Kompasianer (lama).

Nah makhluk apaan tuh Kompasianer

Jurnalis bukan juga ah, reporter bukan, kolumnis? Mmm...,  blogger? Nah mirip-miriplah....

Tapi apa Kompasianer ini bisa disebut seperti yang di atas, merupakan profesi. Bahkan ada blogger yang all out bekerja sebagai blogger. Profesinya ya blogger.

Tapi kalau Kompasianer?

Jenis macam apa pula ini?

Kalau seorang penulis atau pengarang buku pun, bisa disebut sebagai penulis.
Tapi Kompasianer?

Apa jadi Kompasianer ada pensiunnya? (Ada, kalau kalian admin atau COO hehehe...).

Gue sih mungkin gak punya cerita inspiratif. Tapi emang nulis di Kompasiana jelas banget memberikan dampak bagi profesi dan pekerjaan gue sebelumnya.

Jadi gini ceritanya. Boleh dibilang gue itu MBA, alias Menulis By Accident.

Meski gue register di Kompasiana 16 tahun lalu, tapi bukan untuk menulis. Gue bukan penulis, juga bukan jurnalis (sebelumnya). Gue cuma senang membaca tulisan behind the scene dari para jurnalis yang nulis di Kompasiana. Dan berlanjut suka baca tulisan-tulisan anti mainstream para penulis Kompasiana. Tapi gue belum nulis di Kompasiana.

Lalu berhubungan dengan kerjaan gue, saat itu gue lagi kerja di pedalaman Kalimantan Tengah. Gue kerja sebagai Socio Culture Analyst untuk sebuah grup perusahaan milik salah satu konglomerat Indonesia. Buat kalian yang mau tau apaan tuh Socio Culture Analyst, googling aja ya. Singkatnya gue melakukan penelitian sosial masyarakat dan budayanya untuk bisa memberikan rekomendasi bagi perusahaan mengenai program pengembangan masyarakat atau CSR perusahaan.

Singkat cerita dari hasil-hasil gue turun lapangan untuk penelitian di masyarakat desa di pedalaman Kalteng itu, banyak temuan yang menarik, yang tentu saja awalnya hal-hal itu masuk dalam laporan kerja gue. Lalu gue pikir laporan kerja gue itu juga bisa diceritakan buat orang banyak untuk diketahui publik. Maka mulailah gue sedikit mengemas laporan sosial masyarakat gue menjadi sebuah artikel untuk ditayangkan di Kompasiana.

Gue saat itu masih jaraaangggg banget posting. Hanya sebulan 1 kali.

Ternyata eh ternyata, artikel- artikel gue dibaca sama bos gue. Dan dia malah nagih ke gue, "Erri, bulan ini kamu belum nulis di Kompasiana."

Alamak..., ternyata bos gue baca Kompasiana, terutama notice sama artikel gue.

Nah dari situ gue mulai lebih aktif nulis di Kompasiana.

Lalu satu saat setelah gue selesai nulis, gw klik posting/tayangkan, eh Kompasiana error. Gak bisa tayang. Saat itu tulisan kita tidak dimoderasi. Macam blog saja, bisa langsung tayang. Sesepele apapun tulisan kita.

Karena tidak tayang, gue klik klik klik klik mouse komputer gue waktu itu berkali-kali.

Dan tiba-tiba tulisan gue tayang double-double ada lebih dari 10 artikel dengan judul dan isi yang sama.

Waduh. Gue coba delete. Eh error lagi. Semuanya gak bisa didelete.

Waduh gimana...?

Akhirnya gue pikir solusinya, gue harus numpuk tulisan-tulisan error yang double-double itu dengan tulisan-tulisan baru. Tulisan apapun. Sesepele apapun. Yang penting tumpukan tulisan yang error itu bisa semakin melipir ke bawah hingga gak kelihatan di laman pertama.

Maka sejak itulah menulis apapun sesepele apapun jadi dilakukan setiap saatnya.

Dampak berikutnya yang mengikuti adalah gue jadi aktif nulis di Kompasiana.

Long story short, sampai ada pihak lain dari grup perusahaan besar juga yang notice dengan tulisan-tulisan gue, lalu gue "dilamar" untuk bekerja dalam grup perusahaan tersebut. Hingga bos grup perusahaan itu aktif dalam perpolitikan di Indonesia sampai bos gue itu membantu pemenangan Presiden RI ke-7.

Dok. Pribadi, foto tahun 2015.
Dok. Pribadi, foto tahun 2015.

Tak terasa Kompasiana telah berperan untuk Indonesia dari masa Presiden RI ke-6, SBY, hingga presiden yang ke-8.

Gue berharap nalar kritis di Kompasiana terus ditumbuhkan sebagai alat kontrol bagi pemerintah yang berkuasa saat ini dan nanti.

Perubahan itu bisa berawal dari Kompasiana, dari Kompasianer (yang gak ada uang pensiunnya, kecuali admin dan COO).

Tabik....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun