Zubaedah adalah seorang istri sersan Angkatan Darat, 45 tahun usianya saat itu. Ia memiliki 7 anak.
Zubaedah membawa 2 helai celana suaminya, sepotong kebaya dan 2 kain panjang ke rumah binatu (laundry) di dekat rumahnya. Tapi Zubaedah ke binatu bukan untuk mencuci pakaian-pakaian tersebut, melainkan untuk meminjam uang. Pakaian-pakaian yang ia bawa sebagai jaminannya.
Pada masa orde baru saat itu, di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, paling sedikit ada 120 rumah binatu yang memberikan pinjaman uang dengan jaminan berbagai barang-barang costumernya.
Tak hanya dengan jaminan pakaian-pakaian sebagai barang jaminan, tapi juga banyak yang membawa cincin emas, radio, tape recorder, bahkan lemari juga bisa dibawa ke rumah binatu sebagai jaminan pinjaman uang.
Rumah binatu saat itu terutama di daerah tersebut memang berfungsi sebagai rumah gadai. Bunga yang diterapkan dari pinjaman-pinjaman uang itu mencapai 35%! Per bulan. Barang yang digadaikan hilang jika dalam 2 bulan tak ditebus.
Para "pelanggan" rumah binatu di daerah itu adalah para pekerja kecil: pegawai tingkat bawah, buruh, nelayan, dan buruh lepas/serabutan.
Seperti Zubaedah yang suaminya adalah tentara berpangkat sersan. Keluarganya memerlukan uang. Untuk itu dia harus menggadaikan pakaian-pakaian miliknya dan suaminya dengan harapan bisa mendapatkan uang pinjaman dari rumah binatu.
Dari pakaian-pakaian yang digadaikannya waktu itu Zubaedah mendapatkan pinjaman sebesar Rp 5 ribu, yang harus ditebusnya kembali dengan uang Rp 8.500.
Dua bulan berlalu, Zubaedah belum ada uang untuk menebusnya, pakaian-pakaianmya pun hilang. Zubaedah jengkel dan menyobek-nyobek "surat binatu"nya.
Lain lagi Hasan, 41 tahun usianya saat itu, pria kelahiran Tangerang ini banyak menyimpan surat binatu. Karena sering sekali Hasan menggadaikan pakaiannya karena desakan kebutuhan uang. Yang tak bisa ditawar adalah untuk sekolah anak-anaknya. Hutang pada tetangga sudah cukup banyak. Satu-satunya jalan bagi Hasan hanya menggadaikan pakaiannya.
Sebagai buruh lepas, pekerjaan Hasan tidak menentu. "Seminggu kerja, seminggu tidak. Sepuluh hari kerja, 2 minggu menganggur," kata Hasan.