Mohon tunggu...
Erri Subakti
Erri Subakti Mohon Tunggu... Penulis - Analis Sosial Budaya

Socio Culture Analyst

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

1980, Sebuah Potret Kemiskinan Jakarta Zaman "Pembangunan"

3 Juli 2020   22:23 Diperbarui: 3 Juli 2020   22:27 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencari kutu. Foto: pakuanpos.com

Zubaedah adalah seorang istri sersan Angkatan Darat, 45 tahun usianya saat itu. Ia memiliki 7 anak.

Zubaedah membawa 2 helai celana suaminya, sepotong kebaya dan 2 kain panjang ke rumah binatu (laundry) di dekat rumahnya. Tapi Zubaedah ke binatu bukan untuk mencuci pakaian-pakaian tersebut, melainkan untuk meminjam uang. Pakaian-pakaian yang ia bawa sebagai jaminannya.

Pada masa orde baru saat itu, di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, paling sedikit ada 120 rumah binatu yang memberikan pinjaman uang dengan jaminan berbagai barang-barang costumernya.

Tak hanya dengan jaminan pakaian-pakaian sebagai barang jaminan, tapi juga banyak yang membawa cincin emas, radio, tape recorder, bahkan lemari juga bisa dibawa ke rumah binatu sebagai jaminan pinjaman uang.

Rumah binatu saat itu terutama di daerah tersebut memang berfungsi sebagai rumah gadai. Bunga yang diterapkan dari pinjaman-pinjaman uang itu mencapai 35%! Per bulan. Barang yang digadaikan hilang jika dalam 2 bulan tak ditebus.

Para "pelanggan" rumah binatu di daerah itu adalah para pekerja kecil: pegawai tingkat bawah, buruh, nelayan, dan buruh lepas/serabutan.

Seperti Zubaedah yang suaminya adalah tentara berpangkat sersan. Keluarganya memerlukan uang. Untuk itu dia harus menggadaikan pakaian-pakaian miliknya dan suaminya dengan harapan bisa mendapatkan uang pinjaman dari rumah binatu.

Dari pakaian-pakaian yang digadaikannya waktu itu Zubaedah mendapatkan pinjaman sebesar Rp 5 ribu, yang harus ditebusnya kembali dengan uang Rp 8.500.

Dua bulan berlalu, Zubaedah belum ada uang untuk menebusnya, pakaian-pakaianmya pun hilang. Zubaedah jengkel dan menyobek-nyobek "surat binatu"nya.

Lain lagi Hasan, 41 tahun usianya saat itu, pria kelahiran Tangerang ini banyak menyimpan surat binatu. Karena sering sekali Hasan menggadaikan pakaiannya karena desakan kebutuhan uang. Yang tak bisa ditawar adalah untuk sekolah anak-anaknya. Hutang pada tetangga sudah cukup banyak. Satu-satunya jalan bagi Hasan hanya menggadaikan pakaiannya.

Sebagai buruh lepas, pekerjaan Hasan tidak menentu. "Seminggu kerja, seminggu tidak. Sepuluh hari kerja, 2 minggu menganggur," kata Hasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun