Dua tahun terakhir dalam hidupku ini bagai menaiki sebuah rollercoaster emosi. Ada pasang surut yang ekstrim sedemikian rupa sehingga membuatku bertanya-tanya, bagaimana aku bisa menyusun kepingan-kepingan yang telah berserakan untuk bisa hidup menjadi normal kembali dan bahagia.
Tapi, dengan melihat ke belakang, aku bisa melihat sekarang apa yang telah kulakukan sebagai seorang duda yang telah berduka, seorang single parent yang harus merawat gadis kecil yang menakjubkan. Dua tahun terakhir ini tak ada masalah yang terlalu kecil atau terlalu besar untuk diatasi. Tidak sebesar sulitnya mengucapkan selamat tinggal pada rumah yang telah kubangun bersama Ali, istriku yang telah tiada. Terlebih saat putri kami, Olivia, lahir ke dunia. Rasanya berat untuk meninggalkan rumah itu. Tapi kita harus terus melangkah tanpamu, istriku. Aku dan Olivia, berdua saja, memulai kehidupan baru dengan banyak harapan baru yang harus diraih di depan sana. Membangun kehidupan kami, tanpamu…. Secara sadar kita memang telah mengucapkan selamat tinggal kepadamu, Ali, dua tahun lalu. Namun kurasakan bahwa kehadiranmu tetap ada dalam rumah itu. Setiap incinya tak lepas dari sentuhanmu, hiasanmu, dekorasimu Ali. Tak ada yang berubah dari tempatnya. Semua seperti sedia kala saat kau masih ada sayangku. Aku ingat, di tiap hari dan berminggu-minggunya setelah kepergianmu, sangat sulit sekali untukku tinggal di rumah kita dengan kedukaan, rasa kehilangan yang mendalam. Ingatan tentangmu itu konstan. Aku seperti menunggumu pulang ke rumah setiap senjanya. Seakan kau pergi hanya untuk sementara. Aku sungguh menderita dengan kondisi tersebut. Terlebih jika melihat Olivia, air mataku masih terus saja menetes. Bagai orang gila, kadang aku berjalan di sekitar rumah dengan penutup mata. Hanya untuk menghindari melihat tiap item kecil yang mengingatkanku padamu. Saat kau duduk di mana, saat kau sedang merapikan apa, dan saat kau sedang membersihkan peralatan rumah tangga, semuanya membekas jelas, tertanam kuat di kepala, seakan tak mau hilang dari ingatan. Botol sampo mengingatkanku padamu, laci kaus kaki melayangkan pikiranku padamu, apalagi melihat beberapa perhiasanmu yang masih tersusun rapi. Tapi selalu di benakku, aku sadar akhirnya harus mengucapkan selamat tinggal kepada semua kenangan tersebut. Sewaktu kita membeli rumah itu, kita sengaja berfoto berdua dengan berbagai pose dan latar belakang sudut-sudut rumah kita. Kita berdua merencanakan hidup panjang dan bahagia bersama-sama, membangun keluarga kecil. Kini, ketika tiba saatnya untuk berkemas dari rumah yang menjadi tonggak rencana kehidupan bahagia itu, aku harus berjuang keras untuk berani mengucapkan selamat tinggal, dan memulai pergi demi kehidupan yang lebih baik bersama Olivia. Untuk tidak terus terpuruk dan terbelenggu dalam kenangan masa lalu.
___________ *** ____________
*Di-adaptasi dari kisah nyata ini. Sumber gambar semuanya dari sini:http://www.thephoblographer.com/2013/12/18/touching-photographs-father-daughter-celebrate-memories-late-wife/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H