Mohon tunggu...
Tomy Bawulang
Tomy Bawulang Mohon Tunggu... Human Resources - Pembaca

Pendengar, Penyimak, , dan Perenung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Telikung Marquez, 'Tendangan Maut' Rossi dan Pilkada Manado

31 Oktober 2015   09:13 Diperbarui: 31 Oktober 2015   10:49 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu terakhir ini wall facebook saya di ‘penuhi’ dua tema: Pro-Kontra peristiwa Marquez vs Rossi di ajang balap motoGP Sepang; dan Pro-Kontra legalitas Imba dalam kontestasi pilkada Manado. Kedua peristiwa yang tidak ada kaitan sama sekali satu dan lainnya. Saya tertarik mencoba melihat persamaan kedua even yang ‘beda konteks’ tersebut dari perspective ‘Strategy’ pemenangan.

Tentang Rossi vs Marquez, terus terang saya tidak mau ikut debat opini pro dan kontra. Saya bukan fans kedua pembalap tersebut meski tahun lalu saya harus berdecak kagum saat menyaksikan langsung keduanya bertanding di Phillip Island Australia. Tentang kejadian tabrakan kontroversial tersebut memang banyak yang menyalahkan Rossi karena dituduh melakukan ‘tendangan maut’ (i.e. menyenggol) yang mengakibatkan Marquez harus terpental jatuh.

Tapi setelah melihat video hasil rekaman kejadian tersebut berulang ulang, terutama rekaman versi aerial view yang diambil dari helikopter, terlihat bahwa handle bar Marquez (yang beberapa kali menyalip garis laju Rossi) menyentuh tungkai paha nya sendiri yang menyebabkan kehilangan keseimbangan dalam posisi miring yang sangat dekat dengan Rossi sehingga Valentino Rossi bereaksi dan terlihat seperti ‘menendang’ Marc Marquez. Meski kemudian sampai hari ini peristiwa tabrakan masih saja merupakan kontroversi dikalangan pemerhati MotoGP. Tapi kontroversi ini bukan point utama catatan saya kali ini. Sekali lagi saya ingin melihat peristiwa ini dari sisi “strategy” pemenangan.

Siapapun yang mengikuti perkembangan MotoGP tahu bahwa untuk musim kali ini, sangat tidak mungkin bagi Marquez untuk bisa menjadi juara melihat ketertinggalan point Marquez terhadap Rossi dan Lorenzo. Meski para penggemar berat Marquez masih berharap bahwa dari 11 race tersisa dengan 275 points yang masih bisa diperebutkan, tapi melihat performa Rossi dan Lorenzo saat ini sepertinya Marquez harus melakukan ‘mission impossible’ jika tidak ingin kehilangan mahkota juaranya. Satu satunya harapan adalah berharap “monumental capitulation” alias peristiwa luar biasa yang menyebakan Rossi dan Lorenzo “menyerah” atau berhenti.

Inilah yang kemudian perjuangan Marquez menjadi sebuah mission impossible. Lalu strategy apa yang paling bisa dilakukan? Marquez sadar bahwa memaksa dirinya untuk menang dgn ‘glory’ yaitu finish terdepan atau setidaknya naik podium di sisa race kecil kemungkinan karena pembalap lain pun memiliki spirit yang sama. Pilihan yang paling mudah dilakukan terutama di event Sepang adalah “menjegal lawan”, dan ini terlihat jelas direkaman video Marquez berulang kali memotong garis lintas Rossi.

Meskipun hal demikian bukan merupakan pelanggaran seperti kata Mike Webb direktur race MotoGP, tapi sebagai manusia, siapapun pada posisi Rossi akan jengkel. Kenapa? semua tahu untuk musim tahun ini Rossi berpeluang lebih besar untuk menjadi juara dengan catatan skor 15 kali naik podium dari 16 race sementara Marquez sudah tiga kali gagal mencapai finish dalam musim ini. Sehingga Rossi tahu bahwa yang dilakukan Marquez di Sepang fokusnya adalah untuk ‘menelikung’ dan berupaya menggagalkan Rossi. Singkatnya, strategy Marquez adalah, “Jika lawan terlalu berat, dan kita susah menang secara gentle, maka fokuslah untuk menjegal lawan sambil berharap ada keajaiban lain yang berpihak sehingga bisa menang”.

Lantas, apa kaitan peristiwa telikung Marquez dan ‘Tendangan Maut” Rossi dengan kontestasi politik di pilkada Manado? Teman teman pengamat politik lokal bakalan setuju jika saya katakan bahwa ada persamaan pola strategy ‘telikung’ ini di konteks Pilkada Manado. Mengikuti postingan dan diskusi teman teman di Manado, sepertinya ada peserta kontes walikota yang terusik dengan fenomena meningkatnya elektabilitas Imba (lihat postingan saya di kompasiana terkait Imba).

Beberapa survey terus saja menempatkan Imba -salah satu calon Walikota Manado, yang adalah mantan nara pidana kasus korupsi, pada posisi teratas. Beberapa teman mengendus ada indikasi permainan telikung dari calon lain yang terusik dengan realitas terkini atmosfir politik Manado. Ada calon yang sudah merasa ‘kalah’ sebelum seluruh rangkaian pertandingan berakhir dan berada sama persis dengan kondisi‘mission impossible’ nya Marquez.

Calon yang sudah merasa kalah sebelum pertandingan selesai ini kemudian mencoba menggunakan instrument ‘kekuasaan’ dengan menelikung ‘system’ dengan mengelaborasi tafsir tafsir hukum terkait ‘dosa’ masa lalu Imba yang adalah seorang koruptor. Bagi pasangan ‘mission impossible’ ini, saat ini opsi terbaik menurut mereka adalah ‘menelikung’ Imba agar jatuh di tikungan. 

Secara personal, saya tidak memiliki kepentingan dalam pilkada Manado. Namun sebagai pegiat pendidikan sosial, saya tertarik melihat fenomena telikung ini sebagai praktek demokrasi yang harus kita eliminir. Saya lebih memilih menilai persoalan hukum Imba secara proporsional. Artinya, biarlah lembaga hukum yang berwenang yang menilai. Dan ketika fakta bahwa Imba diloloskan sebagai peserta pilkada berarti KPUD telah melewati proses kajian yang cukup panjang meskipun ini belum tentu 100 persen bisa ‘tepat’.

Sebagai rakyat, saya lebih mendambakan pertarungan demokrasi yang elegan dimana masing masing calon berkonsentrasi memikat calon pemilih dengan aksi positif. Dengan kata lain, strategy pemenangan calon mestinya berfokus pada ‘kekuatan’ calon,.. bukan mencari ‘kelemahan’ lawan untuk kemudian dijegal. Bagi teman teman konsultan politik lokal, mungkin saran ini terlalu simplistik, tapi itulah yang sebenarnya di rindukan rakyat. Sebuah kompetisi politik yang elegan dan beradab.

Terkait soal status Imba sebagai mantan terpidana kasus korupsi, sebenarnya hal ini tidak terlalu berpengaruh jika dimainkan sebagai salah satu element dalam strategy pemenangan. Siapapun di Manado pasti kenal Imba sebagai mantan nara pidana. Memang ada segment pemilih idealis yang mungkin menjadikan ini sebagai pertimbangan dalam menentukan pilihan. Tapi jika data beberapa survei yang menempatkan Imba pada posisi teratas valid, dilakukan secara independent dan objektif, maka ini adalah realitas terkini yang harus dipahami oleh lawan politik Imba sebagai clue bahwa segment pemilih idealis ini cukup minim jumlahnya. Jika asumsi ini akurat maka, kelompok terbesar pemilih Manado adalah segment “pemaaf”.

Saya lebih mengatakan ‘pemaaf’ bukan ‘pelupa’, karena peristiwa Imba sebagai mantan napi masih hangat diingatan pemilih Manado. Mungkin sedikit subjectif jika saya katakan bahwa segment pemilih ‘pemaaf’ ini berkorelasi dengan aspek budaya lokal yang terkonstruksi dengan prinsip prinsip religius humanistik misalnya, ‘hal mengasihi yang teraniaya’, ‘memaafkan yang bersalah’ , ‘jangan menghakimi’ dll. Jika asumsi korelatif ini benar maka seperti yang dibuktikan survei, strategi "telikung" yang sedang dimainkan oleh calon calon lain yang berusaha menjegal laju Imba justru akan kontra - produktif dengan upaya pemenangan calon mereka sendiri.

Yang saya heran, ada beberapa konsultan politik lokal yang selalu mengedepankan element ‘budaya’ dalam meramu strategi pilkada kog bisa merekomendasikan strategi telikung ini? Bukankah jika mereka memahami benar konidisi psikologi sosial masyarakat yang mendasari konstruksi budaya lokal yang anti ‘peng-dzoliman’ tidak akan memilih strategy telikung Marquez dalam pilkada Manado? atau element budaya yang selama ini mereka mainkan hanya sebatas mobilisasi isu primordial dengan dasar yang sangat dangkal?

Saya geli melihat pertarungan dengan gaya tidak fair seperti yang sedang dimainkan di Pilkada Manado saat ini. Saran saya, biarlah Pilkada Manado berlangsung fair, berikan saja kesempatan yang sama kepada semua kontestan. Tidak perlu saling telikung, toh rakyat Manado cukup cerdas untuk menentukan pilihan. Mereka tahu yang terbaik untuk mereka. Kontestan Pilkada semestinya berlomba lomba dalam kebaikan dan berikan rakyat Manado pilihan pilihan yang bisa membawa perbaikan dan peningkatan kualitas hidup rakyat Manado. Soal legalitas Imba, serahkan saja pada pihak penyelenggara.

Seandainya Imba pun harus dianulir pada menit menit terakhir, biarlah itu terjadi karena proses hukum yang objektif. Pasangan lain tidak perlu sibuk menelikung apa lagi menggunakan instrument kekuasaan. Fokus saja pada kekuatan diri (team) dan maksimalkan itu untuk meraih kemenangan yang elegan ‘glorius victory’. Tidak usah sibuk mencari cari kelemahan lawan. Itu baru elegan. Ingat masih banyak swinging voters yang belum menentukan pilihan sampai hari ini. Strategy telikung dengan men-dzolimi lawan tidak relevan dengan konstruksi budaya Manado. Dan ini jelas tidak akan menarik minat swinging voters untuk mengalihkan dukungan kepada calon penelikung. Praktek telikung, belive it or not, justru akan mengkonstruksi image figur Imba sebagai pihak yang teraniaya.

 

Dan seperti yang saya kemukakan diatas, kultur Manado akan cenderung berpihak pada figur yang teraniaya. Selain itu, praktek telikung -menelikung dalam kontestasi pilkada hanya akan menimbulkan perpecahan yang tentunya tidak kita inginkan bersama. Jika strategy telikung ini tetap dilakukan, saya kuatir, Pertama: Seperti Marquez, strategy ini akan menjadi bumerang dan mencelakakan diri sendiri. Kedua, sebagai manusia, seperti halnya Valentino Rossi yang jengkel dan merasa dicurangi, Imba pun dengan track record dan latar belakang beliau yang sangat mapan di belantara rimba politik, sangat sanggup melakukan serangan balik dengan ‘strategi tendangan maut’ . Jika ini terjadi, ini akan merupakan preseden buruk dan petaka bagi proses demokrasi di Manado. Berkompetisi saja secara sehat. Dengan demikian kita bisa melakukan pembelajaran politik dan demokrasi kepada rakyat Manado secara lebih baik. Bukankah Torang Samua Basudara?

 

Salam untuk Manado yang lebih baik.

Adelaide, South Australia 31 Oct 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun