Dalam kaitan ini pula, saya kemudian membaca potensi bakal adanya split-ticket voting di Pilgub Banten. Alasanya karena simpati terhadap Airin dan semangat "perlawanan" terhadap ambisi dan egoisme elit partai itu juga berkembang di internal partai-partai pengusung Andra-Dimyati yang tergabung dalam Koalisi Banten Maju (KBM). Bukan hanya di kalangan warga non-afiliasai partai politik.
Fenomena split-ticket voting itu sedikit banyak jelas akan menguntungkan Airin-Ade. Maka dengan modal stabil popularitas dan elektabilitas yang telah digenggamnya, kemudian soliditas internal partai pengusung, simpati publik yang berkelindan dengan semangat "perlawanan" warga Banten, ditambah dengan potensi split-ticket voting di partai-partai KBM ini, maka potensi Airin-Ade memenangi Pilgub Banten sesungguhnya cukup komplit. Â Â
Lalu mengapa simpati publik, potensi split-ticket voting dan semangat "perlawanan" terhadap ambisi, kepentingan dan ego politik para elit itu seakan sama sekali tidak berpengaruh? Jika ketiganya dapat diumpamakan sebagai satuan instrumen, mengapa instrumen sosio-politik elektoral ini sepertinya tidak berfungsi, dan akibatnya Airin-Ade gagal memenangi kontestasi?
Pengaruh Prabowo dan Semangat Anti-Dinasti ?
Beberapa pihak menilai besarnya pengaruh negatif Presiden Prabowo menjadi kunci kegagalan Airin-Ade. Tapi faktanya selama perhelatan Pilgub Banten, Prabowo bahkan tidak pernah turun ke Banten. Apalagi sampai membuatkan video-endorsement seperti yang dilakukannya terhadap Luthfi-Taj Yasin di Jawa Tengah. Â
Pengaruh beliau baik sebagai Presiden maupun sebagai Ketua Umum Gerindra jelas ada. Tapi besarannya hemat saya tidaklah terlalu siginifikan, dan nampaknya juga dengan sengaja beliau tidak memperlihatkan endorsementnya terhadap Airin-Ade secara terbuka seperti dukungannya terhadap Luthfi (Jateng) dan Kamil (Jabar). Hal ini dimungkinkan karena Airin telah berjasa atas keberhasilannya di Banten pada saat Pilpres silam.
Lalu bagaimana dengan semangat anti-dinasti politik? Warga Banten tahu, Airin memang berasal dari lingkaran keluarga dinasti Ratu Atut. Tetapi sejauh yang saya cermati, isu dinasti sebagai faktor negatif tidak cukup menonjol dalam perhelatan Pilgub kali ini. Andra-Dimyati bahkan juga tidak mengkapitalisasi isu ini untuk menyerang Airin-Ade secara terbuka.
Boleh jadi karena kubu KBM sadar, jika isu ini diblow-up justru bisa menjadi bumerang. Karena Dimyati sendiri merupakan salah satu orang kuat Banten yang telah mengembangkan praktik dinasti di daerahnya, Pandeglang.
Jika pengaruh kontra-produktif Prabowo dan isu dinasti politik juga bukan faktor-faktor kunci, lantas faktor apa sesungguhnya yang memengaruhi secara signifikan kegagalan Airin-Ade untuk memenangi Pilgub Banten?
Kita tunggu saja hasil investigasi DPP PDIP yang dipimpin oleh Yasonna H. Laoly (mantan Menteri Hukum dan HAM) perihal anomali tadi dalam beberapa hari kedepan. Benarkah ada keterlibatan terstruktur, sistematis dan masif dari kekuasaan seperti yang disinggung Sekretaris DPD PDIP Banten, Asep Rahmatullah. Bahwa partainya mencatat adanya penyalahgunaan wewenang, ketidaknetralan penyelenggara, dan peran aparat yang tidak seharusnya dalam proses Pilkada.
"Kami ingin memastikan bahwa pelaksanaan Pilkada berjalan sesuai aturan. Anomali yang terjadi perlu disorot karena berpotensi menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat." (www.radarbanten.co.id, 3 Desember 2024).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!