Fakta yang sangat jomplang antara besaran angka hasil survei dengan data hasil quick count dan real count KPU yang cukup mengejutkan inilah yang sekarang kabarnya sedang coba ditelusuri oleh Tim yang dirikim DPP PDIP ke Banten. Ada faktor apa saja (yang bisa dibilang relatif cepat, hanya dalam hitungan 1-2 bulan) yang telah mengakibatkan pergeseran drastis preferensi pemilih dari Airin ke Andra Soni ? Menarik jika nanti PDIP merilis hasil investigasinya.
Soliditas Partai Pengusung
Faktor kedua adalah soal soliditas partai pengusung utama, PDIP dan Golkar. Sejauh yang saya cermati dan pernah saya tulis dalam beberapa artikel sebelum pemungutan suara, kedua partai ini relatif solid memperjuangkan Airin-Ade.
Bahwa ada satu-dua tokoh populer di Banten yang merupakan kader PDIP dan Golkar yang main dua kaki karena ada irisan kepentingan elektoral yang berbeda dalam konteks Pilkada Bupati dan Walikota, memang tidak bisa dipungkiri. Namun hal ini tidak terlalu berpengaruh negatif pada posisi elektabilitas Airin-Ade. Kalaupun ada, dugaan saya tidak cukup besar pengaruhnya.
Kecuali jika fenomena "main dua kaki" itu diorkestrasi secara masif dan sistematik oleh kekuatan internal menjelang pemungutan suara, yang kemudian membuat para elit di kedua partai pengusung itu "terpaksa" atau "tanpa beban" membelot dengan cepat menjelang 27 November. Inilah yang oleh DPP PDIP ditengarai sebagai anomali yang telah membuat Airin-Ade tumbang Â
Sebagaimana dikemukakan Ahmad Basarah (www.viva.co.id, 29 November 2024), anomali itu sangat kental dirasakan oleh pasangan yang diusung partainya bersama Golkar ini. Â Basarah mengungkapkan anomali ini terkait dengan dugaan adanya intervensi kekuasaan yang dilakukan antara lain melalui Partai Coklat (Parcok) yang belakangan ramai diperbincangkan publik di beberapa daerah.
Jika dugaan itu benar memang sangat ironis bagi Airin. Di Pilpres 2024, Airin memainkan peran penting dalam pemenangan Prabowo-Gibran di Banten karena ia adalah Ketua Tim Pemenangan tingkat Provinsi. Selain ironis bagi Airin, jika dugaan itu benar adanya, tentu saja ini praktik yang tidak boleh ditolerir. Maka sekali lagi, penting ditunggu hasil investigasi Tim DPP PDIP di Banten.
Simpati Publik, Split-Ticket VotingÂ
Dalam beberapa artikel sebelumnya, berdasarkan hasil pencermatan dan diskusi-diskusi dengan banyak kolega di Banten, saya juga menulis perihal berkembangnya simpati publik terhadap Airin berkenaan dengan proses kandidasinya yang sempat menggantung dan harus melewati jalan terjal politik. Analisisnya bisa dibaca di Kompasiana edisi 26 November 2024, "Airin dan Split-Ticket Voting di Pilgub Banten."
Selain itu, proses kandidasi Pilgub di Banten juga mirip Jakarta. Ada gejala politik kartel yang telah membuat para elit partai terkesan abai dengan suara-suara jernih sebagian warga Banten yang menginginkan proses kandidasi berlangsung fair dan aspiratif. Mereka lebih memilih bergerombol menyiapkan satu Paslon untuk menghindari "kesialan politik" jika tak merapat.
Dan faktanya kemudian, andai saja tidak ada putusan MK Nomor 60, Pilgub Banten pasti hanya akan diikuti oleh Paslon tunggal, Andra-Dimyati yang disokong semua partai parlemen minus PDIP dan Golkar sebelum sempat memberikan rekomendasi kepada Andra-Dimyati beberapa hari sebelum deadline pendaftaran.
Berkah putusan MK 60/2024, PDIP akhirnya bisa maju sendiri tanpa harus koalisi, dan dengan elegan mengusung Airin (yang sebetulnya merupakan kader Golkar) sebagai calon Gubernur, didampingi Ade Sumardi (Ketua DPD PDIP Banten) sebagai calon Wakil Gubernur. Dalam konteks ini, Golkar sendiri akhirnya menarik rekomendasi dari Andra-Dimyati dan mengalihkannya kepada Airin-Ade setelah Megawati mengumumkan paslon ini di DPP PDIP.
Dugaan saya dinamika pencalonan Airin yang begitu rupa prosesnya, dan tentu saja mendapat atensi publik di Banten kala itu, jelas telah mengundang selain simpati untuk Airin, juga semangat "perlawanan" publik terhadap ambisi dan egoisme elit partai yang mencoba "memaksakan" Andra-Dimyati tampil tanpa lawan tanding yang sebanding.