Menjadi oposisi di parlemen pada hakikatnya juga tugas dan pekerjaan politik yang mulia dan terhormat. Karena melalui fungsi-fungsi oposisionalnya, mereka menjadi pengingat bagi kemungkinan kekuasaan bertindak sesat dan melakukan penyimpangan. Menjadi pencegah bagi kemungkinan lahirnya kebijakan-kebijakan politik yang tidak memihak pada kepentingan bangsa dan negara.
Dan PDIP-PKS, keduanya jelas memiliki kapasitas (baik kelembagaan maupun aktor-aktor politiknya) serta pengalaman yang dapat diandalkan dalam mewujudkan relasi kekuasaan yang seimbang dan memberikan kemaslahatan. Keseimbangan kekuasaan ini penting dibangun dan diwujudkan untuk menjaga agar potensi kembalinya otoriatarainisme dalam kepolitikan kita bisa dicegah, dan demokrasi yang sudah terkonsolidasi ini dapat terus dihidupkan dan dikembangkan.
Sekali lagi sebagai penegasan agar tak salah memahami. Oposisi yang dimaksud dalam diskusi ini adalah "oposisi yang loyal." Oposisi yang berada divdalam bingkai sistem kebangsaan dan kenegaraan. Oposisi yang bukan sekedar menghormati, tetapi juga menerima keabsahan politik kekuasaan yang telah menerima mandat mayoritas rakyat.
Sebagaimana pernah dikemukakan dengan sangat lugas oleh Michael Ignatieff, seorang pemimpin oposisi di parlemen Kanada dalam sebuah orasinya di hadapan sivitas akademika Universitas Stanford tahun 2012. Oposisi yang loyal memang menentang kebijakan pemerintah, tetapi itu untuk kepentingan demokrasi sendiri, oleh karenanya:
"... pemerintah tidak punya hak untuk mempertanyakan kesetiaan pihak-pihak yang menentang mereka. Pihak-pihak yang menentang tetaplah warga negara dari negara yang sama, rakyat dari negara yang sama, dan pelayan hukum yang sama."Â
Analisis politik terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H