Tinggal dalam hitungan hari, Prabowo-Gibran bakal diambil sumpahnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kita semua tentu berharap agenda pengambilan sumpah (atau yang secara kurang tepat lebih dikenal dengan istilah "pelantikan") akan berlangsung lancar, tertib dan aman, serta terbebas dari kegaduhan sebagai residu konflik politik pada perhelatan Pilpres.
Demikian pula dengan penyelenggaraan pemerintahan pasca pengambilan sumpah jabatan nanti. Publik tentu berharap, transisi pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo bukan saja akan berlangsung smooth, lancar, dan tanpa masalah. Tetapi juga dapat menjadi fondasi yang kokoh dan solid sebagai pijakan untuk melanjutkan kepemimpinan nasional dalam lima tahun kedepan.
Selain itu, masyarakat tentu juga tidak akan lupa dan bakal menunggu realisasi janji-janji politik berupa deretan program yang ditawarkannya pada saat kampanye Pilpres tempo hari. Terutama yang menyangkut bidang-bidang kehidupan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan sektor-sektor sosial-ekonomi mendesak lainnya.
Sementara pada saat yang sama Prabowo-Gibran juga terikat secara moral-politik dengan komitmen keberlanjutannya. Komitmen untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf pada masa kepemimpinannya lima tahun kedepan. Dalam konteks ini, tak pelak lagi, Prabowo akan dihadapkan pada berbagai "pekerjaan rumah" yang diwariskan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Pentingnya Transisi Berlangsung Damai
Harapan publik, janji kampanye yang harus ditunaikan, dan komitmen moral-politik yang juga harus dijaga sebagaimana highlight diatas semuanya merupakan agenda strategis yang pastinya akan menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat. Dan dalam kerangka ini pula sebetulnya memastikan transisi pemerintahan berlangsung smooth dan damai menjadi prioritas dalam beberapa pekan atau bulan kedepan.
Sedikitnya ada tiga argumen mengapa transisi kekuasaan atau pemerintahan harus berlangsung smooth, damai, dan tertib.
Pertama ia akan menjadi isyarat bahwa tradisi demokrasi telah tertanam dan tumbuh dengan baik.Â
Faksi-faksi politik yang berseteru kencang pada saat Pilpres, saling sanggah dan menegasikan, bahkan kerap diwarnai dengan pertengkaran terbuka di ruang publik.Â
Baik di level elit maupun massa pada akhirnya dapat saling mengedepankan kearifan bahwa kontestasi pada akhirnya harus ada ujungnya, dan semua pihak harus kembali pada track kepentingan bangsa dan negara.
Kedua, transisi yang damai dan tertib akan menjadi modal awal. Bukan saja bagi kelompok yang mendapatkan mandat rakyat sebagai pemenang, tetapi juga bagi kelompok yang kalah dalam kontestasi Pilpres.
Bagi pihak pemenang yang bakal menjalankan roda pemerintahan transisi damai dan tertib merupakan modal penting karena bisa dengan tenang mengawali perjalanan pemerintahannya dalam satu periode kedepan. Tanpa ketenangan atau kesejukan politik, janji-janji kampanye dan komitmen moral-politik tadi tidak mungkin bisa diwujudkan.
Sementara bagi pihak yang kalah kontestasi, dan kemudian (seharusnya) siap menjadi oposisi yang loyal sekaligus tetap kritis, transisi damai dan tertib memungkinkan mereka dapat menjalankan fungsi oposisionalnya dengan elegan dan berkeadaban. Dan ini tentu akan memberikan insentif politik dari publik dalam kerangka saling menjaga harmoni dan keutuhan berbangsa meski dalam posisi saling berhadapan.
Demokrasi memang membutuhkan level kearifan dan fatsoen setinggi itu. Pihak pemenang disilakan menjalankan mandat kuasanya dari rakyat sambil membuka ruang bagi sikap kritis dari berbagai elemen masyarakat. Di sisi seberang pihak yang kalah disilakan menjalankan fungsi oposisionalnya sebagai "watchdog" sambil tetap merawat kesetiaan tanpa batas kepada bangsa dan negara.
Ketiga transisi damai dan tertib akan menjadi modal bersama sebagai bangsa dalam konteks global atau forum internasional.Â
Modal itu adalah berupa kepercayaan politik sekaligus respek dari masyarakat internasional. Bahwa bangsa ini telah berhasil melakukan proses suksesi kepemimpinan sekaligus peralihan kekuasaan dengan melewati fase transisi tanpa gejolak dan kegaduhan.
Hanya di atas bangunan transisi pemerintahan atau kekuasaan yang berlangsung damai dan tertib itulah realisasi janji-janji kampanye dan komitmen moral-politik Prabowo-Gibran dapat diwujudkan.
Daftar Janji Prabowo-Gibran
Sekadar menyegarkan kembali, secara garis besar janji-janji politik Prabowo-Gibran dapat dibaca pada rumusan Visi dan Misi saat pasangan ini mendaftar di KPU. Berikut ini Visi dan Misinya.
Visi Prabowo-Gibran adalah "Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045." Substansi Visi ini selaras dengan Visi Indonesia Emas 2045 yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Yakni terwujudnya "Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan" tepat pada saat Indonesia berusia 100 tahun atau satu abad.
Dalam kerangka pikir RPJPN 2025-2045, Visi Prabowo-Gibran akan menjadi periode awal, yakni lima tahun pertama (kepemimpinan) yang sangat strategis dan menentukan dalam upaya mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.Â
Capaian di lima tahun pertama RPJPN 2025-2045 ini akan memengaruhi secara determinatif apakah Indonesia Emas 2045 itu dapat diwujudkan atau mangkrak di perjalanan, lalu harus kembali dirumuskan ulang.
Untuk mewujudkan Visi tersebut, Prabowo-Gibran menetapkan 8 Misi yang kemudian dikenal dengan Asta Cita. Kedelapan Misi ini pada hakekatnya merupakan janji politik Prabowo-Gibran yang harus ditunaikan dalam lima tahun kepemimpinannya kedepan.
Pertama, Memperkokoh Ideologi Pancasila, Demokrasi, dan HAM.Â
Kedua, Memantapkan Sistem Pertahanan Keamanan Negara dan Swasembada Pangan, Energi, Air, Ekonomi Kreatif, Hijau, dan Biru.Â
Ketiga, Meningkatkan Lapangan Kerja, Kewirausahaan, dan Pengembangan Infrastruktur.
Keempat, Memperkuat Pembangunan SDM, Sains, Teknologi, Pendidikan, Kesehatan, Prestasi Olahraga, Kesetaraan Gender, dan Peran Perempuan, Pemuda, serta Penyandang Disabilitas.Â
Kelima, Melanjutkan Hilirisasi dan Industrialisasi untuk Meningkatkan Nilai Tambah di Dalam Negeri.
Keenam, Membangun dari Desa dan dari Bawah untuk Pemerataan Ekonomi dan Pemberantasan Kemiskinan.Â
Ketujuh, Memperkuat Reformasi Politik, Hukum, dan Birokrasi, serta Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Narkoba.Â
Kedelapan, Memperkuat Penyelarasan Kehidupan yang Harmonis dengan Lingkungan, Alam, dan Budaya, serta Peningkatan Toleransi Antarumat Beragama.
Kedelapan Misi itu tentu bukan perkara mudah untuk mewujudkannya. Dibutuhkan tekad, komitmen dan kepemimpinan yang kuat (strong leadership), dukungan organisasi dan manajemen birokrasi (eksekutif) yang handal, sekaligus sokongan politik rakyat yang memungkinkan terciptanya stabilitas politik-keamanan yang memadai selain sebagai penanda kuatnya legitimasi politik. Dan kesemuanya ini sekali lagi harus tercermin dalam fase transisional pemerintahan beberapa hari atau pekan kedepan.
Beban Politik
Secara politik, posisi dan legitimasi kepemimpinan Prabowo-Gibran saat ini sangat kuat. Selain karena dukungan 58% suara rakyat bersama puluhan (atau ratusan?) relawan Pilpres, Prabowo-Gibran juga disokong oleh pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dan didukung oleh hampir semua kekuatan politik di parlemen. Kekuatan politik ini akan semakin gigantis jika PDIP akhirnya juga merapat ke pemerintahan.
Dengan fakta-fakta dukungan politik itu mestinya fase transisi akan mudah dilewati dengan lancar, tertib dan damai. Namun di balik semua dukungan itu sesungguhnya juga terdapat potensi beban politik (political burden) yang tidak ringan bagi Prabowo-Gibran. Dukungan politik itu baik dari relawan, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf yang bakal digantikannya, dan partai politik di DPR layaknya pedang bermata dua.
Ketiga sumber dukungan politik itu dapat dipastikan akan (atau bahkan sudah?) membebani Prabowo, misalnya dalam menyusun kabinet pemerintahannya. Baik relawan, Jokowi (entah dengan Kyai Ma'ruf) maupun partai politik sebagaimana terungkap dalam banyak pemberitaan, sudah saling mengusulkan orang-orangnya untuk masuk kabinet, besok lusa mungkin juga jabatan-jabatan strategis di banyak BUMN yang menjadi target. Ini semua potensial menjadi beban politik bagi Prabowo yang berkeinginan menghadirkan Kabinet Ahli (Zaken Kabinet).
Dukungan Jokowi kepada Prabowo juga tidak mungkin gratis. Salah satu "imbalan" yang diminta Jokowi secara lugas dan terbuka adalah komitmen Prabowo terkait isu keberlanjutan. Hemat saya ini akan menjadi beban politik tersendiri bagi Prabowo terutama jika diksi "keberlanjutan" dipahami tanpa pengecualian.
Tentu saja tidak ada yang salah dengan keinginan Jokowi agar Prabowo-Gibran dapat melanjutkan garis kebijakan dan program-program pemerintahannya. Akan tetapi Prabowo pastinya juga mengetahui dan sadar betul bahwa tidak semua garis kebijakan dan program-program pemerintahan Jokowi layak untuk dilanjutkan tanpa pengecualian.
Berbagai kekurangan atau kelemahan tetap perlu dikoreksi, dan Prabowo mestinya berani melakukannya karena pasca pengambilan sumpah janji nanti ia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang memiliki otoritas penuh untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan kebijakan.
Beban terakhir tapi tak kalah ribet dapat dipastikan bersumber dari elit-elit partai politik koalisinya. Selain permintaan jatah portofolio di Kementerian dan/atau BUMN serta jabatan-jabatan strategis lainnya di lingkaran instana untuk kader-kader mereka yang sudah disinggung di depan. Political burden itu juga potensial bisa membebani langkah kepemimpinan dan manajerial Prabowo dalam menyelenggarakan pemerintahannya.
Pernyataan Prabowo dalam beberapa kesempatan terakhir, misalnya soal warning agar para menteri yang berasal dari partai "Jangan Mencuri APBN", jelas mengisyaratkan kesadaran bahwa potensi abuse of power oleh para pembantunya adalah nyata dan "historical."
Dan itu, lagi-lagi, jika Prabowo tidak memiliki keberanian menggunakan hak prerogratif dan hak ekslusifnya sebagai top executive di pemerintahan, jelas akan menjadi beban berkelanjutan di sepanjang periode pemerintahannya.
Maka fase transisi dalam hitungan hari dan pekan kedepan akan menjadi tahapan awal pembuktian sekaligus momen yang pasti ditunggu oleh publik apakah Prabowo sanggup keluar dari bayang-bayang beban politik sekaligus berani melawan kepentingan-kepentingan politik parsial yang dapat mengganggu ikhtiar mewujudkan Visi, Misi dan janji-janji politiknya kepada rakyat. Semoga saja demikian.
Analisis-analisis politik lainnya:
Debat Pilgub dan Bayang-Bayang Kompromi Politik
Membincang Kembali Pentingnya Kehadiran Oposisi di Parlemen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H