Istilah deliberasi atau deliberatif berasal dari kata deliberatio (Latin), artinya konsultasi, menimbang-nimbang, atau musyawarah. Istilah ini untuk pertama kalinya dipromosikan oleh Joseph Bessete dalam kaitan diskursus demokrasi. Kemudian dielaborasi lebih mendalam dan operasional dalam konsep demokrasi deliberatif oleh Jurgen Habermas.
Secara sederhana demokrasi deliberatif dimaknai sebagai proses pembahasan, diskusi, musyawarah sekaligus pengujian secara publik terhadap berbagai isu sebelum dirumuskan dan ditetapkan menjadi keputusan politik atau kebijakan politik.Â
Habermas menyebut proses ini dengan istilah "diskursus publik" yang didalamnya menekankan pentingnya proses komunikasi dua arah yang terbuka dan intens antara pemerintah (negara) dengan publik (rakyat).
Demokrasi DeliberatifÂ
Konsep demokrasi deliberatif lahir dari keprihatinan para ahli yang melihat proses pengambilan keputusan-keputusan dan konsensus-konsensus politik yang dilakukan semakin elitis dan teknoratik. Cara-cara ini cenderung menegasikan peran-peran partisipatif publik dalam berbagai urusan yang justru bakal mengikat mereka ketika suatu keputusan politik diambil oleh negara.
Ratusan tahun silam model demokrasi deliberatif itu sesungguhnya sudah tumbuh benih-benihnya, baik dalam sejarah peradaban Yunani Kuno maupun dalam sejarah peradaban politik Islam, khususnya di era kepemimpinan politik Khulafa al Rasyidin. Kala itu persoalan-persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibahas dan didiskusikan bersama secara langsung sebelum Raja/Kaisar (era Yunani) atau Khalifah (era Khulafa al Rasyidin) memutuskannya sebagai kebijakan publik.
Habermas percaya bahwa kebijakan negara yang didasarkan pada wacana publik yang jernih dan obyektif, yang dikomunikasik, didiskusikan dan diartikulasikan dengan bebas dan tanpa rekayasa akan jauh lebih berkualitas ketimbang kebijakan-kebijakan yang diproduk secara politik dan teknokratik semata. Karena itu ia sangat menganjurkan model yang tadi sudah disinggung, yakni diskursus publik atau musyawarah (?) dalam terminologi khas kita.
Kampanye DeliberatifÂ
Dalam sejarah kampanye elektoral kita, secara konseptual model deliberatif ini telah coba dipraktikan melalui bentuk kampanye dialogis atau tatap muka. Tetapi kita tahu, dalam praktiknya kampanye dialogis sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan Pilkada lebih bersifat seremoni, formalitas, dan sekadar menunaikan kewajiban normatif belaka.
Karakter diskursif, membedah dan menguji gagasan para kandidat dalam suasana yang sarat dengan pertukaran gagasan-gagasan kritis jarang --jika tidak ada sama sekali---terjadi dalam kampanye-kampanye dialogis atau tatap muka. Padahal inilah kesempatan baik yang mestinya dimanfaatkan oleh para kandidat untuk memaparkan visi misi dan gagasan-gagasan programatiknya guna meyakinkan para pemilih perihal keseriusan, kapasitas dan kapabilitasnya sebagai calon pemimpin daerah.
Di sisi lain, publik mestinya juga memanfaatkan forum dialogis itu untuk menguji para kandidat Kepala atau Wakil Kepala Daerahnya. Perihal apapun yang diperlukan dan harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Mulai dari aspek integritas, kompetensi, pengalaman, hingga komitmennya sebagai bakal pemimpin daerah.
Bahkan ada kecenderungan para kandidat dan tim pemenangannya sendiri justru menghindari model kampanye deliberatif ini. Paling tidak, hingga sejauh ini belum terbaca ada pasangan kandidat di satu atau beberapa daerah yang menginisiasi atau melaksanakan model kampanye deliberative.