Sekali lagi, kehadiran oposisi dalam sistem politik dan pemerintahan demokratik adalah conditio sine qua non. Sesuatu yang niscaya alias wajib. Secara moral atau etik (politik), setidaknya ada empat argumen dasar dibalik premis bahwa oposisi adalah keniscayaan, kewajiban yang tidak bisa dihindari dalam sistem politik dan pemerintahan demokratik modern.
Pertama, merujuk pada doktrin trias politika Montesquieu, demokrasi membutuhkan mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan negara (utamanya antara legislatif dan eksekutif). Dalam konteks ini oposisi di parlemen berperan untuk memastikan bahwa pemerintah yang juga didukung oleh sebagian (tentu mayoritas) koalisinya di parlemen tidak semena-mena saat merancang dan memproduk kebijakan-kebijakan politik.
Fungsi dan peran oposisional itu penting karena fakta elektoral, bahwa di sisi konstituen pendukung pemerintah yang memenangi perhelatan pemilu, masih terdapat konstituen yang berbeda sikap dan dukungan.
Tradisi demokrasi wajib menjamin kelompok minoritas, setidaknya untuk tetap didengarkan suaranya melalui kelompok oposisi yang secara faktual menerima mandat dari minoritas politik itu.
Selain itu, mekanisme check and balances juga perlu dihidupkan untuk memastikan agar kedua cabang kekuasaan (legislatif dan eksekutif) selalu berada pada titik yang relatif seimbang. Eksekutif tidak boleh terlalu kuat (heavy executive) karena bisa melahirkan rezim otoriter dan praktik otoritarianisme. Sebaliknya, legislatif (parlemen) juga tidak boleh terlalu kuat karena bisa memicu instabilitas politik dan pemerintahan.
Mencegah Potensi Korupsi Politik
Kedua, meminjam dalil klasik Lord Acton, "power tend to corruptc, and absolute power corrupts absolutely." Dalam konteks ini oposisi hadir untuk mengontrol naluri purba kekuasaan yang egois sekaligus mengawasi operasi kekuasaan yang cenderung korup di tangan penguasa manapun.
Karenanya dalam sebuah metafor, kaum oposisi kerap disebut sebagai "advocatus diabolli", "setan yang menyelamatkan". Kerjanya memang "mengganggu" (penguasa) layaknya setan. Namun "gangguan" itu sesungguhnya dilakukan demi kebaikan bersama, untuk menyelamatkan kehidupan bersama dari kemungkinan pemerintah salah dalam mengambil pilihan arah, kebijakan dan jalan berbangsa dan bernegara.
Pentingnya Politik DiskursifÂ
Ketiga, demokrasi sesungguhnya digagas sebagai jalan untuk mewujudkan kebaikan bersama dari waktu ke waktu secara berkesinambungan. Dalam perspektif dialektika dan politik diskursif, kebaikan bersama adalah tahap yang takkan pernah selesai untuk terus diikhtiarkan.
Peran oposisi dalam kerangka ini adalah membawa dan menghadirkan antitesis-antitesis pemikiran, gagasan, aspirasi dan kehendak konstituen minoritas secara terus-menerus dalam setiap rancangan kebijakan pemerintah.
Dengan cara dialektik dan politik diskursif ini terbuka peluang setiap rancangan kebijakan pemerintah menjadi lebih baik karena ia dikawal dengan kritis.
Jadi, tidak seperti yang dibayangkan sebagian orang bahwa kiprah kaum oposisi hanyalah untuk mendegradasi kebaikan-kebaikan pemerintah lalu menjatuhkannya. Melainkan justru (secara tidak langsung) dapat memperkuatnya melalui produk-produk kebijakan politik yang dianggap baik oleh konstituen minoritas di belakang kaum oposisi di parlemen.