Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kotak Kosong, Pseudo-Democracy, dan Langkah Mendesak Menyikapinya

7 September 2024   11:05 Diperbarui: 7 September 2024   11:06 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atau bisa juga karena adanya tekanan dan/atau tawaran kompensasi politik dari kekuasaan di aras nasional. Dalam konteks ini ada partai politik yang memiliki surplus kekuasaan di aras nasional lalu menggunakan kekuasaannya itu untuk menekan dan "menyandera" partai lain agar mengikuti kemauannya.

Di sisi lain juga ada partai politik yang memang tidak memiliki komitmen pada suara-suara rakyat, bahkan kadernya sendiri di daerah. Mereka lebih memilih "jalan aman" bagi partai dan elitnya sendiri, yang "tersandera," mungkin oleh kasus tertentu atau gurihnya menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Faktor lain adalah mahalnya biaya politik (political cost) yang harus disiapkan oleh para bakal kandidat yang berminat (bahkan juga layak maju sebagai calon pemimpin di daerah) untuk bisa mengikuti kontestasi Pilkada. Mulai dari biaya "membeli perahu untuk berlayar," sosialisasi dan kampanye, hingga biaya tetek-bengek lainnya.

Pseudo-Democracy, Pseudo-Election

Lalu mengapa Pilkada dengan calon tunggal layak disebut sebagai pseudo-democracy, demokrasi semu sekaligus juga pseudo-election, pemilihan semu dan sarat dengan kepura-puraan?

Pilkada dengan pasangan calon tunggal, terutama karena disebabkan oleh insecuritas partai-partai dalam mengartikulasikan aspirasi rakyat di daerahnya menghadapi hegemoni dan tekanan partai-partai berkuasa tentu tidak sehat dalam tradisi demokrasi. Gejala ini bisa disebut sebagai pseudo-democracy alias demokrasi semu setidaknya karena beberapa alasan berikut ini.

Pertama, masyarakat tidak diberikan pilihan kecuali figur pasangan calon hasil kesepakatan elit yang sangat mungkin berlangsung dalam proses yang sarat dengan transaksi-transaksi gelap politik. Hakikat makna meaningful participation (partisipasi yang bermakna) sebagai indikator utama demokrasi sebagaimana pernah diamanatkan dalam salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mewujud dalam proses kandidasi pasangan calon.

Kedua, calon tunggal tidak memungkinkan munculnya kontestasi gagasan yang berlangsung secara diskursif, kompetitif dan bisa diuji oleh publik. Kompetisi gagasan jadi berlangsung monolitik, tidak ada pembanding visi misi dan program yang ditawarkan kepada masyarakat.

Ketiga, selain pseudo-democracy, calon tunggal dalam perhelatan Pilkada juga praktis menjadi pseudo-election, pemilihan yang semu. Karena paket pasangan calon yang ditawarkan kepada masyarakat hanya satu. Contradictio in terminis. Memilih itu artinya mengambil satu diantara minimal dua pasangan calon yang tersedia. Benar bahwa ada opsi pilihan lain. Tetapi itu Kotak Kosong, bukan pasangan manusia yang disiapkan menjadi pemimpin. Ia sekedar bentuk "kepura-puraan" dalam kegiatan pemilihan.

Dampak dan Implikasi Dilematis

Tahapan Pilkada terus bergulir, dan sekarang sudah sampai pada fase verifikasi berkas persyaratan pasangan calon. Lima ratus lebih bakal pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah akan segera ditetapkan sebagai pasangan calon, dan sekali lagi 41 diantaranya adalah paslon tunggal yang bakal menghadapi Kotak Kosong.

Alih-alih bisa dicegah atau menimal diturunkan jumlahnya, gejala ini bahkan meningkat lumayan pesat. Dari 25 Paslon di Pilkada serentak terakhir tahun 2020 kini menjadi 41 Paslon.

Salah satu nilai utama demokrasi adalah partisipasi publik, keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan-keputusan strategis seperti memilih pemimpin. Pilkada dengan calon tunggal potensial bisa memicu apatisme publik lantaran absennya alternatif pilihan kecuali Kotak Kosong tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun