Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Kotak Kosong, Pseudo-Democracy, dan Langkah Mendesak Menyikapinya

7 September 2024   11:05 Diperbarui: 8 September 2024   19:06 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kotak kosong (Kompas/Didie SW)

Alih-alih bisa dicegah atau minimal diturunkan jumlahnya, gejala ini bahkan meningkat lumayan pesat. Dari 25 Paslon di Pilkada serentak terakhir tahun 2020 kini menjadi 41 Paslon.

Salah satu nilai utama demokrasi adalah partisipasi publik, keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan-keputusan strategis seperti memilih pemimpin. Pilkada dengan calon tunggal potensial bisa memicu apatisme publik lantaran absennya alternatif pilihan kecuali Kotak Kosong tadi.

Selain itu, di tengah literasi politik elektoral warga yang sebetulnya semakin membaik, Pilkada dengan calon tunggal ini potensial akan membuat para pemilih malas datang ke TPS karena mereka tahu proses kandidasi hingga melahirkan calon tunggal lazimnya berlangsung tidak sungguh-sungguh demokratis.

Sementara itu, di beberapa daerah yang ber-Pilkada dengan calon tunggal mungkin saja ada gerakan massif untuk memenangkan Kotak Kosong sebagai bentuk kesadaran perlawanan publik terhadap hegemoni kekuasaan monolitik. Dan ini sah sebagai bentuk artikulasi pilihan politik warga karena dijamin oleh undang-undang seperti pernah terjadi dalam Pilkada Kota Makassar tahun 2018 silam.

Masalahnya kemudian jika Kotak Kosong unggul dan memenangi kontestasi, maka Pilkada harus diulang dari awal. Nah dalam jeda waktu menuju Pilkada ulang itu, daerah tersebut bakal dipimpin oleh Pejabat (Pj) Kepala Daerah yang ditunjuk pemerintah pusat. Dalam situasi ini kepemimpinan demokrasi lokal kehilangan esensinya karena pemimpin daerah ditunjuk oleh pemerintah, bukan dipilih.

Lebih parahnya lagi jika merujuk pada UU Pilkada, khususnya Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 (yang tidak diubah dalam UU perubahan berikutnya) yang mengedepankan desain keserentakan Pilkada, Pj Kepala Daerah yang ditunjuk itu akan memimpin selama lima tahun atau satu periode pemerintahan. Satu masalah memang kerap memicu munculnya masalah baru, masalah susulan, masalah berkelanjutan.

Pilih Kotak Kosong, Pilkada Ulang Secepatnya 

Lalu sikap dan langkah apa yang harus dilakukan sebagai terobosan untuk memastikan masalah yang dipicu oleh munculnya calon tunggal Pilkada ini tidak menjadi berkelanjutan merusak esensi demokrasi, menegasikan kedaulatan rakyat?

Pertama membantu dan mengupayakan kemenangan bagi Kotak Kosong. Ini penting sebagai bentuk artikulasi perlawanan publik terhadap perilaku para elit partai yang kelewat pragmatis, hingga melupakan kewajibannya menyediakan pilihan-pilihan politik yang memadai bagi rakyat.

Dengan cara demikian publik di daerah bisa berharap, kedepan tidak ada lagi elit-elit parpol yang abai terhadap hak-hak rakyat untuk memperoleh pilihan-pilihan calon pemimpinnya secara demokratis dan pantas disebut sebagai pemilihan.

Kedua, mendorong parlemen dan pemerintah untuk segera melakukan perubahan terhadap norma-norma regulasi yang mengatur masa jeda Pilkada ulang jika Kotak Kosong memenangi Pilkada seperti antara lain Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada Nomor 8 tadi.

Poin penting perubahan itu adalah Pilkada ulang wajib segera dilakukan paling lambat satu tahun terhitung sejak penetapan hasil Pilkada 2024 dimana Si Kotak Kosong memenangi kontestasi. Ini artinya, masa jeda daerah yang mengalami kasus dipimpin oleh Kepala Daerah "give away" pemerintah pusat cukup satu tahun. Dan kedaulatan rakyat segera dikembalikan kepada pemiliknya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun