Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Melepas Anies, PDIP Memperkecil Peluang Menciptakan Keseimbangan Politik

28 Agustus 2024   13:30 Diperbarui: 28 Agustus 2024   22:51 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa banyak orang berharap PDIP mengusung Anies di Pilgub Jakarta? 

Harapan ini bahkan datang dari segmen masyarakat yang pernah menjadi haters PDIP di sepanjang pemerintahan Jokowi-Ma'ruf yang diusung dan terus dibelanya habis-habisan hampir sepuluh tahun. Mereka tidak ragu, dan merasa tak harus malu "memohon" PDIP mengusung Anies. Mengapa?

Harapan juga berasal dari kelompok masyarakat yang secara politik bebas afiliasi. Mereka adalah kalangan civil society dan intelektual di berbagai sentra kecendekiawanan: kampus, ormas dan organisasi pegiat demokrasi. Tentu saja dengan cara yang berbeda, tak harus terbuka dan vulgar, tapi cukup dengan membaca pikiran dan pernyataan-pernyataan mereka di ruang publik. Mengapa mereka berharap demikian?

Karena hanya dengan mengusung Anies Baswedan lah, peluang PDIP untuk menegaskan diri sebagai partai yang konsisten menjaga konstitusi, merawat demokrasi, dan melawan hegemoni kekuasaan yang cenderung banal menjadi terbuka. Setidaknya lebih terbuka dibandingkan dengan misalnya mengusung Pramono atau bahkan Ahok sekalipun.

Secara kuantitatif peluang terbuka itu terbaca jelas dari hasil sigi berbagai lembaga survei yang selalu menempatkan Anies pada posisi teratas. Dan berdasarkan angka-angka elektabilitas hasil sigi ini pula, PKS, PKB dan Nasdem pagi-pagi sudah menyatakan kesiapannya mengusung Anies. PKS bahkan sempat mengeluarkan rekomendasi, sebelum kemudian mencabut dan mengalihkannya kepada Ridwan Kamil-Suswono.

Kemudian secara kualitatif peluang itu bisa dibaca dengan mudah beralaskan modal kecukupan literasi elektoral dan ketajaman nalar waras bahwa Anies memiliki potensi suara yang besar di Jakarta. Sebagai simpul kekuatan politik elektoral, Anies memiliki konstituennya sendiri. Ia memang bukan partai, bukan pula elit partai. Tapi Anies memiliki basis massa yang bisa dibilang sampai batas tertentu "setara" dengan basis massa partai.

Konstituen atau basis massa itu adalah warga Jakarta yang tidak memiliki afiliasi politik dengan partai manapun. Mereka adalah floating mass yang menginginkan sosok ideal setelah kehilangan kepercayaan terhadap integritas partai politik sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasinya. Sosok itu mereka temukan pada figur Anies Baswedan.

Konstituen Anies berikutnya adalah para pemilih, simpatisan bahkan kader-kader akar rumput PKS, PKB dan Nasdem di Jakarta yang pada waktu Pilpres memberikan suara untuk Anies-Cak Imin. Mereka adalah para pemilih yang potensial melakukan split-ticket voting di Pilgub nanti, yakni memilih figur paslon yang bukan pilihan partainya.

Meski mungkin tidak terlalu besar, pemilih Anies juga ada di akar rumput PDIP Jakarta, dan warga Jakarta yang cenderung a-politis tapi kemudian "terpapar" virus perubahan yang melekat pada sosok Anies Baswedan.

Berdasarkan kalkulasi elektoral itu, maka dengan mengusung Anies (dan tentu saja didampingi kader internalnya sendiri), PDIP memiliki peluang besar memenangi kontestasi Pilgub Jakarta. Dan dengan kemenangan ini, sekali lagi, PDIP (bersama Anies) sama-sama memiliki kesempatan besar untuk menegaskan diri sebagai partai dan pihak yang konsisten menjaga konstitusi, merawat demokrasi, dan melawan hegemoni kekuasaan yang cenderung banal akhir-akhir ini.

www.inews.id
www.inews.id

Mengapa Harus PDIP? 

Lantas mengapa harapan itu dialamatkan kepada PDIP? 

Sebagaimana sudah sering saya singgung dalam beberapa artikel sebelumnya, PDIP memiliki sejumlah kesamaan ideological dan situasional dengan Anies.

PDIP dan Anies sama-sama merupakan antitesis kekuasaan pemerintahan Jokowi, setidaknya sejak perhelatan Pilpres 2024 lalu. Antitesis dalam pengertian positif-konstruktif sebagai pihak yang berusaha meluruskan bengkok-bengkok tatakelola kekuasaan pemerintahan Jokowi. Atau dalam istilah yang lebih lazim dikenal sebagai kekuatan oposisional pemerintah.

Jika membaca secara utuh dan obyektif siapa sosok Anies melalui kiprahnya selama ini, sesungguhnya ia juga memiliki kesamaan ideologis dengan PDIP. Hanya saja memang kesamaan ini tidaklah bersifat formal legalistik. 

Sebut saja misalnya, bahwa PDIP merupakan partai nasionalis-kerakyatan. Anies sesungguhnya adalah juga seorang nasionalis yang memiliki komitmen pembelaan terhadap rakyat kecil, wong cilik dalam diksi PDIP.

PDIP memegang teguh prinsip kebhinekaan. Selama memimpin Jakarta prinsip kebhinekaan ini telah Anies wujudkan dalam bentuk berbagai kebijakan inklusif, setara dan anti-diskriminatif. Inklusifitas dan penghormatan terhadap fakta kebhinekaan juga Anies tunjukan dalam lingkup pergaulan dan interaksi pribadi maupun sosialnya yang melampau batasan-batasan primordialis.

Selain alasan ideological di atas, PDIP dan Anies memiliki kesamaan situasional secara politik. PDIP dan Anies sama-sama sempat diisolasi dalam proses politik kandidasi oleh kubu KIM Plus sebelum putusan MK Nomor 60 terbit. PDIP ditinggal semua partai parlemen, bahkan termasuk ditinggal oleh koleganya di Pilpres 2024, yakni PPP dan Perindo, sehingga nyaris saja PDIP terlempar ke bangku tribun di arena kompetisi Pilgub Jakarta.

Demikian pula halnya dengan Anies. Ia dighosting tanpa ampun oleh tiga parpol yang di awal prakandidasi Pilgub sempat memberikan dukungan politiknya, yakni PKS, PKB, dan Nasdem. Mereka memilih jalan merapat ke kubu KIM Plus dan membiarkan Anies sendirian, sama persis dengan PDIP.

Satu hal penting dari fakta-fakta terurai di atas, saya melihat tumbuhnya fenomena sentripetal dibasis akar rumput dan massa simpatian PDIP dan Anies dalam konteks relasi politik masa lalu yang berseberangan secara diametral dan penuh paradoks. 

Gejala ini memperlihatkan bagaimana basis massa atau simpatisan PDIP dan pendukung fanatis Anies terlihat sama-sama bergerak ke arah tengah dan saling mendekat untuk bersatu, meninggalkan residu polarisasi yang pernah terjadi akibat konflik horisontal keras yang membelah warga Jakarta di Pilkada 2017.

Menyurutkan Peluang

Hari ini terang benderang. Teka-teki siapa figur yang bakal dimajukan PDIP di Jakarta clear sudah. PDIP jadinya mengusung kader sendiri untuk maju di Pilgub Jakarta, yakni Pramono Anung sebagai cagub dan Rano Karno sebagai cawagub, dan siang ini sudah didaftarkan ke KPU DKI Jakarta.

Banyak pihak yang menilai PDIP seperti mengalami anti-klimaks dalam proses kandidasi. Bahwa tidak ada titik temu antara Megawati dan Anies karena satu dan lain alasan, entah ideologis atau teknis tentu saja bisa difahami. Adalah hak PDIP atau lebih tepatnya hak prerogatif Megawati selaku Ketua Umum untuk mengambil putusan akhir perihal siapa yang dinilai pantas dimajukan.

Tetapi agak mengherankan kenapa pilihannya Pramono Anung? Mengapa bukan Ahok yang secara elektoral jelas berada jauh d iatas Pramono? Apakah PDIP memang tidak memiliki target menang di Jakarta? Jadi sekadar ikut kontestasi. Rasa-rasanya tidak mungkin, buang-buang energi, dan kerja keras publik menolak rencana revisi UU Pilkada oleh DPR jadi tidak terlalu berguna di Jakarta.

Kelebihan komparasi Ahok dibanding Pramono. Pertama, angka survei yang selalu menempatkan Ahok di posisi atas dan hanya berada di bawah Anies, diatas Ridwan Kamil. Kedua, di Jakarta Ahok memiliki pendukung fanatik serupa Anies. Ketiga Ahok pastinya jauh lebih memahami Jakarta dibandingkan Pramono atau bahkan Rano sekalipun meski ia Betawi asli.

Sebaliknya, Pramono bukanlah figur yang populer untuk kontestasi Pilgub, khususnya Jakarta. Di kabinet pun ia bukan sosok yang moncer, biasa-biasa saja karena pos jabatannya memang tidak memungkinkan dirinya menjadi populer. Di survei namanya tidak pernah muncul, jikapun ada di lembaga survei tertentu, posisinya berada jauh di bawah. Mengapa Pramono, bukan Ahok, jika Anies memang mentok ?

Tanpa bermaksud merendahkan potensi elektabilitas Pramono-Rano dan mendahului takdir, menghadapi Ridwan Kamil-Suswono yang didukung koalisi gigantis nampaknya kemenangan tidak akan berpihak pada mereka. Dan ini artinya PDIP potensial kehilangan kesempatan untuk menegaskan diri sebagai partai yang konsisten menjaga konstitusi, merawat demokrasi, dan menciptakan masa depan keseimbangan politik. Setidaknya, peluang dan kesempatan jadi surut dan mengkerut.

Artikel terkait Pilkada Jakarta:

Anies-PDIP, Politik Simbiosis Mutualisme yang Saling Menguatkan

Putusan MK Terbaru Membuka Kembali Peluang PDIP dan Anies

Anies Gabung PDIP, Why Not?

KIM Plus, Pilkada Jakarta, dan Pengerdilan Demokrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun