Mengapa Harus PDIP?Â
Lantas mengapa harapan itu dialamatkan kepada PDIP?Â
Sebagaimana sudah sering saya singgung dalam beberapa artikel sebelumnya, PDIP memiliki sejumlah kesamaan ideological dan situasional dengan Anies.
PDIP dan Anies sama-sama merupakan antitesis kekuasaan pemerintahan Jokowi, setidaknya sejak perhelatan Pilpres 2024 lalu. Antitesis dalam pengertian positif-konstruktif sebagai pihak yang berusaha meluruskan bengkok-bengkok tatakelola kekuasaan pemerintahan Jokowi. Atau dalam istilah yang lebih lazim dikenal sebagai kekuatan oposisional pemerintah.
Jika membaca secara utuh dan obyektif siapa sosok Anies melalui kiprahnya selama ini, sesungguhnya ia juga memiliki kesamaan ideologis dengan PDIP. Hanya saja memang kesamaan ini tidaklah bersifat formal legalistik.Â
Sebut saja misalnya, bahwa PDIP merupakan partai nasionalis-kerakyatan. Anies sesungguhnya adalah juga seorang nasionalis yang memiliki komitmen pembelaan terhadap rakyat kecil, wong cilik dalam diksi PDIP.
PDIP memegang teguh prinsip kebhinekaan. Selama memimpin Jakarta prinsip kebhinekaan ini telah Anies wujudkan dalam bentuk berbagai kebijakan inklusif, setara dan anti-diskriminatif. Inklusifitas dan penghormatan terhadap fakta kebhinekaan juga Anies tunjukan dalam lingkup pergaulan dan interaksi pribadi maupun sosialnya yang melampau batasan-batasan primordialis.
Selain alasan ideological di atas, PDIP dan Anies memiliki kesamaan situasional secara politik. PDIP dan Anies sama-sama sempat diisolasi dalam proses politik kandidasi oleh kubu KIM Plus sebelum putusan MK Nomor 60 terbit. PDIP ditinggal semua partai parlemen, bahkan termasuk ditinggal oleh koleganya di Pilpres 2024, yakni PPP dan Perindo, sehingga nyaris saja PDIP terlempar ke bangku tribun di arena kompetisi Pilgub Jakarta.
Demikian pula halnya dengan Anies. Ia dighosting tanpa ampun oleh tiga parpol yang di awal prakandidasi Pilgub sempat memberikan dukungan politiknya, yakni PKS, PKB, dan Nasdem. Mereka memilih jalan merapat ke kubu KIM Plus dan membiarkan Anies sendirian, sama persis dengan PDIP.
Satu hal penting dari fakta-fakta terurai di atas, saya melihat tumbuhnya fenomena sentripetal dibasis akar rumput dan massa simpatian PDIP dan Anies dalam konteks relasi politik masa lalu yang berseberangan secara diametral dan penuh paradoks.Â
Gejala ini memperlihatkan bagaimana basis massa atau simpatisan PDIP dan pendukung fanatis Anies terlihat sama-sama bergerak ke arah tengah dan saling mendekat untuk bersatu, meninggalkan residu polarisasi yang pernah terjadi akibat konflik horisontal keras yang membelah warga Jakarta di Pilkada 2017.