Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

KIM Plus, PDIP "Plus" dan Kabar Golkar Mengubah Haluan di Pilgub Banten

27 Agustus 2024   11:02 Diperbarui: 27 Agustus 2024   22:20 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi kita tahu, baik secara teoritik maupun berdasarkan pengalaman dan hasil empirik, bahwa peta perolehan suara atau kursi partai politik di lembaga legislatif tidak selalu berbanding lurus dengan keterpilihan kandidat paslon ekskutif, baik presiden-wakil presiden maupun kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusungnya. Fakta empirik ini bisa terjadi karena adanya fenomena yang dalam literatur ilmu Pemilu dikenal dengan istilah split-ticket voting.

Split-ticket voting adalah fenomena di mana para pemilih membedakan pilihan politiknya antara partai politik dengan paslon kandidat yang diusungnya dalam pemilu eksekutif. Merujuk pada Mitchell Palmer, fenomena pilihan terpisah atau terbagi ini lazim terjadi dalam dua momen pemilihan yang berbeda, misalnya Pileg dan Pilpres atau Pileg dan Pilkada. Ribuan pemilih memilih partai X saat Pileg, tetapi kemudian memberikan pilihannya pada kandidat Y Pilpres atau Pilkada yang diusung oleh partai lain.

Dalam konteks sejarah elektoral Indonesia, fenomena split-ticket voting ini misalnya pernah terjadi sangat mencolok pada Pilpres 2004. Paslon Partai Demokrat yang dalam Pileg hanya berada di urutan kelima dengan raihan suara 7.5%, SBY, berhasil memenangi Pilpres dengan mengalahkan kandidat Golkar, Wiranto-Salahuddin Wahid dan kandidat PDIP, Megawati-Hasyim Muzadi.

Padahal pada Pilegnya Golkar menempati urutan pertama raihan suara dengan 21.6% dan PDIP di urutan kedua dengan 18.5%. Pemilih Golkar dan PDIP mengalami split-ticket voting, dimana para pemilihnya pada saat Pileg terpecah atau mengalihkan suaranya kepada kandidat Partai Demokrat.

Split-ticket voting juga terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Jokowi-Ahok yang kala itu hanya didukung oleh PDIP dan Gerindra berhasil memenangi Pilkada dengan mengalahkan kompetitor terberatnya, Foke-Nachrowi yang didukung oleh banyak partai besar lainnya, baik di putaran pertama maupun kedua. Di antara partai papan atas pendukung Foke-Nachrowi itu adalah Golkar, Demokrat, PKS, PPP, PKB, dan PAN.

PDIP "Plus"

Split-ticket voting tentu tidak muncul begitu saja. Selalu ada faktor-faktor pendorong di belakang fenomena elektoral ini. Misalnya keunggulan komparasi yang dimiliki figur paslon atau afiliasi ganda sosio-politik dari para pemilih yang tidak selalu terbaca oleh partai politik. Atau, bisa juga karena kegagalan partai politik menyerap aspirasi basis pemilihnya dan ini kemudian tercermin dalam mengusung figur paslon yang tidak disukai konstituennya.

Di Banten (bahkan juga di Jakarta) fenomena split-ticket voting pada Pilkada 2024 ini potensial juga bisa muncul karena berbagai faktor penyebab, diantaranya yang disebutkan tadi. Dan ini menurut hemat saya bisa menjadi kekuatan "Plus" bagi PDIP jika mereka mampu mengkapitalisasi dan memaksimalkannya sebagai modal elektoral dengan tepat.

Dalam kasus Banten, kekuatan "Plus" PDIP itu ada pada sosok Airin maupun Ade Sumardi sendiri. Airin berasal dari keluarga besar lokal strongman Banten (orang Banten menyebutnya dengan "Keluarga Rau") yang selama ini mendominasi kepolitikan lokal, terutama melalui Partai Golkar, bahkan juga sektor bisnis di Banten. Jejaring yang dimiliki "Keluarga Rau" sudah lama tersebar dan mengakar hampir di semua sektor kehidupan masyarakat di Banten.

Airin adalah mantan Wali Kota Tangerang Selatan yang dinilai berhasil dan clean dari kasus-kasus yang banyak menjerat elit dan pejabat lokal, yakni korupsi dan penyimpangan-penyimpangan kekuasa politik lainnya. 

Popularitasnya di utara Banten jelas paling unggul, belakangan nampaknya juga semakin dikenal dan disukai di Selatan Banten. Ini dibuktikan dengan angka popularitas dan elektabilitasnya berdasarkan berbagai lembaga survei yang selalu berada di posisi paling atas.

Jika diadu secara head to head dengan Andra Soni, figuritas (muasal keluarga, kompetensi dan kecakapan, serta pengalaman dan capaian kepemimpinan politik pemerintahan) Airin nampaknya unggul lumayan jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun