Yakni dengan membuat ketentuan pelonggaran threshold itu hanya berlaku buat partai politik yang tidak punya kursi di DPRD. Threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah Pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi di DPRD.
Batas Usia PaslonÂ
Kemudian terkait putusan MK Nomor 70 Tahun 2024 mengenai persyaratan batas minimal usia calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah.Â
Dalam pertimbangan hukumnya MK antara lain menguraikan, "Bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis, praktik selama ini dan perbandingan, Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo, sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon..." [Butir 3.17]. Â
Pertimbangan ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor : 23 P/HUM/2024 yang memberi tafsir baru bahwa pemenuhan persyaratan batas minimal usia calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah itu dihitung pada saat pelantikan calon terpilih.
Konyolnya, Baleg DPR RI justru sepakat menggunakan putusan MA dan mengabaikan putusan MK. Padahal dari sisi hierarki (tata urutan perundangan) pengajuan norma hukum jelas putusan MK lebih tinggi daripada putusan MA. MA menguji Peraturan KPU terhadap UU, sementara MK menguji UU terhadap UUD.
Selain itu, putusan MK juga bersifat final and binding sebagaiman diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Bahwa "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum."
Kepentingan Politik Parsial
Lantas mengapa Baleg DPR RI begitu antusias, sigap dan tanpa malu (meski dihujani kritik keras oleh berbagai pihak, terutama para akademisi dan ahli, mahasiswa dan kalangan masyarakat sipil) menolak dua putusan MK itu?
Pertama, penolakan terhadap putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 diduga berkaitan dengan nafsu KIM Plus yang sudah kelewat batas untuk menguasai sebanyak mungkin arena kontestasi Pilkada, terutama daerah-daerah strategis dan penting seperti semua provinsi di pulau Jawa dengan memborong semua partai dan menyisakan hanya PDIP.
Kedua, penolakan terhadap putusan MK Nomor 70 Tahun 2024 berkenaan dengan kepentingan politik elektoral untuk memberikan jalan bagi Kaesang Pangarep bisa maju sebagai calon Gubernur atau Wakil Gubernur. Â
Seegois dan sesempit itukah orientasi para wakil kita di parlemen hingga tanpa ragu merancang permufakatan banal yang bisa mematikan demokrasi sekaligus menghempaskan esensi kedaulatan rakyat ke tong sampah?
Kita lihat siang nanti atau lusa, yang kabarnya hasil rancangan permufakatan banal itu bakal dibawa ke Paripurna DPR. Jika rancangan Baleg DPR itu akhirnya lolos, maka paripurnalah pula banalitas perilaku mereka yang memang sudah sering dipertontonkan !
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!