Banal dan memuakan! Inilah dua kata yang pantas disematkan kepada para anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang kemarin menyepakati poin-poin krusial pembahasan RUU Pilkada sebagai respon politik dan tindaklanjut legislasi yang kebablasan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Perihal ambang batas persyaratan pencalonan serta perihal persyaratan batas minimal usia calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Kasar dan menyulut emosi!
Sebagaimana kita tahu, sebelumnya MK memutus perkara gugatan judicial review mengenai ambang batas (threshold) pencalonan Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. Dalam perkara ini MK mengabulkan permohonan para pemohon yang putusannya tertuang dalam putusan Nomor: 60/PUU-XXII/2024.
Selain itu MK juga memutus perkara gugatan judicial review mengenai persyaratan batas minimal usia calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh dua orang mahasisawa,Â
Anthony Lee dan Fahrur Rozi. Dalam perkara ini MK menolak permohonan para pemohon yang putusannya tertuang dalam Nomor : 70/PUU-XXII/2024.
Kedua putusan itu dibacakan MK pada hari Selasa, 20 Agustus 2024. Kemudian layaknya mendapatkan berkah dan anugrah, publik antusias menyambut kedua putusan tersebut.Â
Kedua putusan itu membersitkan banyak harapan positif dalam situasi perhelatan Pilkada yang diwarnai dengan sangat kental oleh manuver-manuver politik para elit partai yang mengarah pada potensi kemerosotan demokrasi elektoral.
Ketentuan Baru Threshold
Putusan Nomor 60 Tahun 2024 membuka peluang yang lebih leluasa bagi partai-partai politik untuk mengusung pasangan calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah, yakni melalui perubahan ambang batas pencalonan.
Semula, sebagaimana diatur didalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, ambang batas pencalonan ditentukan sebesar 20% perolehan kursi DPRD atau 25% perolehan suara sah di daerah yang bersangkutan.
Pengaturan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai ketentuan baru oleh MK. Ketentuan baru ini disamakan dengan ketentuan bagi pasangan calon Perseorangan. Yakni melalui besaran persentasi perolehan suara sah hasil Pemilu terakhir dibandingkan terhadap jumlah DPT di daerah yang bersangkutan. Ketentuan baru ini sekaligus juga meniadakan ambang batas (threshold) perolehan kursi di DPRD.