Dengan putusan MK tersebut peluang Kaesang untuk maju sebagai Cagub atau Cawagub tertutup sudah, karena ia baru berusia 29 tahun delapan bulanan pada saat dimulainya proses pendaftaran 27 Agustus 2024. Jadi kurang sekitar 4 bulan. Kaesang lahir 25 Desember 1994.
Bukan Sekedar Kurang Umur
Tetapi masalahnya memang bukan sekadar kurang umur. Menjadi pemimpin, apalagi pemimpin untuk jutaan rakyat, untuk wilayah yang sangat luas dan kompleksitas permasalahan yang harus dikelola, tentu membutuhkan berbagai kriteria lebih dan mumpuni. Mulai dari kematangan emosi (dan ini, meski tidak selalu, seringkali beririsan dengan bilangan usia), pengalaman kepemimpinan, hingga ke aspek kompetensi dan kecakapan yang relevan dengan bidang yang bakal dikelola dan dipimpinnya.
Kaesang saat ini, hemat saya memang masih agak jauh dari kriterium kategorikal itu. Bahwa ia ketua partai iya. Tetapi semua orang tahu belaka, keberhasilannya memuncaki posisi pimpinan di partainya berlangsung dalam proses yang bisa dibilang "tidak lazim." Hari ini menjadi anggota, tiga hari kemudian menjadi ketua. Kaesang tidak mengalami proses penempaan atau "kawah candradimuka" kepemimpinan yang memadai.
Bahwa Kaesang memiliki pengalaman mengelola bisnis dan tentu saja memimpin perusahaannya iya. Tetapi mengelola pemerintahan dan sebuah daerah besar setingkat provinsi serta memimpin jutaan rakyat tentu saja berbeda dengan mengelola usaha dengan karyawan yang hanya belasan atau puluhan orang. Kaesang baru berpengalaman sebagai bos dan manajer, tapi belum sebagai pemimpin rakyat.
Lebih dari itu semua, mari kita bandingkan dengan beberapa nama (sekadar contoh) yang kurang lebih sama populernya dengan Kaesang yang saat ini sedang disiapkan oleh partai-partai untuk menjadi Cagub atau Cawagub di berbagai provinsi. Perbandingan ini penting untuk membaca secara komparatif dan hipotetik di level mana posisi pengalaman, kompetensi dan kecakapan Kaesang sebagai calon pemimpin.
Di ujung timur pulau Jawa ada Khofifah dan Emil Dardak. Khofifah adalah aktifis, lama berkiprah sebagai pemimpin organisasi perempuan di lingkungan Nahdliyin, pernah menjadi Menteri, dan terakhir adalah Gubernur. Emil Dardak adalah Doktor di bidang ekonomi, ditempa di dua partai yang berbeda, Demokrat dan PDIP, pernah menjadi Bupati Trenggalek sebelum akhirnya menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur.
Di Jawa Tengah ada Taj Yasin. Aktifis yang ditempa dan pernah memimpin GP Ansor  Jawa Tengah, lama sebagai kader dan pengurus PPP, pernah menjabat Anggota DPRD Provinsi sebelum akhirnya menjabat Wakil Gubernur Jateng mendampingi Ganjar Pranowo. Lalu ada Bambang Wuryanto, pernah menjadi pebisnis, politisi senior PDIP, empat periode menjadi Anggota DPR RI, pernah memangku jabatan Wakil Ketua MPR, nyaris seperempat abad "macul" sebagai politisi.
Di Jawa Barat ada Dedi Mulyadi dan Rieke Diah Pitaloka. Dedi adalah aktifis HMI, pernah menjadi anggota DPRD, Wakil Bupati lalu Bupati Purwakarta, Anggota DPR RI, lama menempa diri dan berkiprah sebagai politisi di Partai Golkar sebelum pindah ke Gerindra. Rieke adalah Doktor Ilmu Komunikasi, aktifis perempuan, pernah menjadi Wakil Sekjen DPP PKB sebelum akhirnya berkiprah lama sebagai politisi di PDIP, dan menjabat Anggota DPR RI tiga periode.
Contoh komparatif terakhir di Jakarta. Ada Ridwan Kamil dan Anies Baswedan. Kang Emil adalah dosen dan arsitek, alumni ITB dan California University, pernah menjabat Walikota Bandung sebelum naik menjadi Gubernur Jawa Barat. Terakhir Anies, aktifis sejak masa SMA dan kuliah, akademisi dan Doktor Ilmu Politik, penggagas Indonesia Mengajar, pernah jadi Rektor Universitas Paramadina, Menteri dan terakhir Gubernur DKI Jakarta.
Dibandingkan sejumlah figur tersebut, Kaesang jelas masih jauh dibawah mereka. Bukan tidak bisa tentu saja, bukan pula tidak punya potensi ke arah level mereka. Tetapi semua butuh proses, dan setiap proses pasti memerlukan waktu.
Capaian-capaian prestatif Khofifah Indar Parawangsa, Emil Dardak, Bambang Wuryanto, Taj Yasin, Dedi Mulyadi, Diah Pitaloka, Ridwan Kamil, dan Anies Baswedan, terlepas dari masing-masing sisi kurang mereka sebagai manusia, semuanya diraih melalui proses dan tempaan diri dan lingkungan yang panjang. Tidak instan dan karbitan.