Tinggal dalam hitungan hari masa pendaftaran pasangan calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah bakal dibuka oleh KPU. Di Jakarta proses prakandidasi masih berlangsung dinamis. Selain muncul isu baru yakni hadirnya bakal paslon independen, Dharma-Kun yang belakangan menyita perhatian publik, perbincangan seputar langkah PDIP dan nasib Anies masih mendominasi ruang publik.
Pilihan langkah bagi PDIP semakin menyempit setelah Surya Palon memastikan Nasdem tidak akan mencalonkan Anies, menyusul kepastian PKS yang nampaknya sudah sangat excited dengan kompensasi posisi Cawagub di kubu KIM Plus. Terakhir, PDIP juga ditinggalkan PPP dan Perindo, dua parpol yang menjadi mitra koalisi pada Pilpres 2024 lalu.
Sementara itu situasi menyempit juga terjadi pada posisi dan peluang Anies sebagai bakal Cagub setelah hampir semua partai politik memilih bergabung dengan kubu KIM yang menyorongkan Ridwan Kamil dan Suswono sebagai Cagub dan Cawagub. Â
Tanpa "mukjizat politik," qodarullah yang bisa mengubah konstelasi politik elektoral, PDIP dan Anies nampaknya bakal berakhir di bangku tirbun pada pesta demokrasi warga  Jakarta.
Tetapi political game memang belum selesai meski sudah berada nyaris di ujung waktu. Oleh karena itu "mukjizat politik" masih dimungkinkan turun dari langit. Qodarullah belum sampai di titik akhir. Dan "mukjizat politik" itu, qodarullah bisa hadir melalui pintu PKB.
Mukjizat Menunggu Muktamar
Isyarat "mukijzat politik" itu dikemukakan oleh Hasto Kristyanto sebagaimana dilansir berbagai media (Minggu, 18 Agustus 2024), yang mengungkapkan bahwa PDIP sudah berkomunikasi intens dengan elit PKB perihal kemungkinan mereka mengusung Anies Baswedan di Pilgub Jakarta. Kepastiannya menunggu Muktamar PKB di Bali. Kepastian ini tentu berkenaan dengan apakah PDIP dan PKB jadi berkoalisi atau tidak. Jika jadi berkoalisi, apakah mengusung Anies-Rano (atau kader PDIP lainnya), atau Rano-kader PKB?
Meski terasa difetakompli oleh situasi politik elektoral yang menyempit bagi PDIP, sinyal dari Hasto tentu positif dilihat dari sisi pentingnya menghadirkan Pilgub tanpa  kotak kosong.
Seperti yang sudah berulangkali saya tulis, Pilkada dengan calon tunggal yang berimplikasi pada hadirnya kotak kosong dalam surat suara merupakan kemerosotan demokrasi elektoral yang harus dicegah. Karena sekurang-kurangnya akan ada dua substansi yang hilang jika Pilkada digelar dengan calon tunggal.
Substansi pertama yang hilang adalah pilihan appeal to appeal, manusia lawan manusia, kandidat pemimpin lawan kandidat pemimpin. Bukan manusia lawan kotak kosong. Substansi kedua yang hilang adalah kompetisi gagasan dan pemikiran visioner yang harus ditawarkan kepada dan dinilai oleh warga Jakarta.
Dan yang tidak kalah penting, selain kehilangan substansi sebagai proses politik elektoral, Pilkada dengan calon tunggal juga potensial mengakibatkan partisipasi pemilih mengalami kemerosotan. Rendahnya partisipasi mengisyaratkan rendahnya pula legitimasi politik pemimpin terpilih. Atau, partisipasi bisa saja tetap tinggi. Pemilih tetap berduyun ke TPS, tetapi arah pilihannya bukan untuk memberikan mandat kepada si calon tunggal. Melainkan untuk memenangkan kotak kosong.
Masalahnya kemudian, sinyal yang diungkapkan Hasto juga tidak tunggal. Di sisi seberangnya, beberapa elit PKB justru menyatakan bahwa PKB akan bekerjasama dengan Gerindra. Statemen ini bisa dimaksudkan dalam konteks pemerintahan Prabowo-Gibran nanti dimana PKB akan menjadi bagian dari koalisi pendukung pemerintahan. Atau bisa pula dalam konteks Pilgub Jakarta, belum clear seratus persen.
Sebelumya, Kamis 15 Agustus lalu, Cak Imin sendiri selaku Ketua Umum PKB belum memberikan kepastian terkait kandidasi Pilgub Jakarta ini. Kepada media sebagaimana dikutip Antara, ia mengatakan, "Ya kita tunggu aja. Desk pilkada sedang bekerja. Kami akan sampai kesimpulan selama satu dua hari ini."Â Nah, sekarang sudah lewat dua hari, kepastian itu belum kunjung tiba.