Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Anies Gabung PDIP, Why Not?

15 Agustus 2024   17:30 Diperbarui: 16 Agustus 2024   07:41 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan memberikan sambutan saat acara peresmian Menara Kompas, gedung baru Kompas Gramedia, di Palmerah, Jakarta Pusat, Kamis (26/4/2018). (Foto: KOMPAS.com/ANDREAS LUKAS ALTOBELI) 

Hasil survei moncer, dukungan publik meriah, pengalaman memimpin lebih dari cukup, kapasitas dan integritas unggul, serta (yang tidak kalah penting) minat pribadi dan kesiapan maju tidak bisa dipungkiri. 

Tapi ketika tidak ada satupun partai politik yang mau mengusungnya sebagai  kandidat Kepala/Wakil Kepala Daerah, maka semua prasyarat politik kepemimpinan itu percuma saja.

Itulah situasi yang saat ini dihadapi Anies Baswedan. Sayang memang jika akhirnya penggagas Indonesia Mengajar ini gagal maju ke arena kontestasi Pilgub Jakarta. Tetapi apa boleh buat, inilah "hukum besi" politik elektoral dimana hakikat keberadaan, fungsi dan peran partai politik sangat determinatif dan suka tidak suka harus diterima oleh Anies dan para pendukungnya, atau siapa saja yang memiliki kemiripan situasi yang demikian.

Dan dalam konteks "hukum besi" politik elektoral itu, Anies dan para pendukungnya jelas tidak relevan jika hanya mengeluhkan apalagi menyalahkan para kompetitor dan sikap partai-partai yang tidak mau mengusungnya. 

Dalam tradisi demokrasi yang semakin liberal, partai politik terlebih para elitnya, tentu memiliki logika politik dan kepentingannya sendiri-sendiri dalam agenda pengusungan Cagub-Cawagub.

Sebaiknya Anies Masuk Partai

Lantas apa yang harus dilakukan Anies dan para pendukungnya? Beberapa hari lalu sekelompok warga yang menamakan diri Poros Jakarta mendatangi kantor DPP PDIP di Menteng, Jakarta Pusat. Mereka meminta PDIP untuk mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta.

"Kami masyarakat Betawi dan warga Jakarta mengharapkan kepada PDI Perjuangan bersama-sama membangun Jakarta yang berkeadilan bagi wong cilik untuk memajukan kota Jakarta," ungkap jubir Poros Jakarta, Biem Benyamin  seperti dikutip berbagai media.

Langkah Poros Jakarta yang bolehlah dianggap mewakili para pendukung Anies itu tentu sehat dan bagus sebagai bentuk partisipasi sekaligus pengartikulasian aspirasi rakyat. 

Tetapi dalam konteks mengikhtiarkan Anies bisa maju sebagai Cagub Jakarta tentu tidak cukup. Bahkan jika misalnya Poros Jakarta juga datang ke Nasdem Tower dan meminta Sutya Paloh kembali memberi kesempatan Anies untuk maju, kali ini sebagai bakal pemimpin Jakarta, tetap saja belum cukup.

Harus ada upaya yang lebih total dan asertif, dan ini mesti dilakukan oleh Anies sendiri. Yakni dengan menawarkan diri (secara serius dan berintegirtas, tidak semata karena mau maju Pilgub) atau apapun istilahnya kepada partai politik untuk bergabung menjadi kader organik. 

Terkait ini, elit PKS Jakarta pernah mengemukakan bahwa Anies pernah diminta masuk menjadi anggota PKS namun ia menolak (Kompas.com, 12 Agustus 2024).

Padahal permintaan PKS ini dimaksudkan untuk membuka jalan koalisi dan memudahkan proses kandidasi. Dengan menjadi kader PKS, Anies bisa dipasangkan dengan Cawagub dari partai lain yang siap membangun kerjasama atau koalisi. Jadi PKS tidak perlu lagi "menghargamatikan" Sohibul Iman sebagai Cawagubnya.

Jalan pikiran yang demikian itu pernah juga saya uraikan dalam artikel ini : Anies, PKS dan PDIP, dari Jakarta Menuju Pilpres 2029? "...cepat atau lambat PKS akan meminta Anies untuk bergabung sebagai kader resmi PKS. Dengan cara demikian, PKS tetap menjadi leader koalisi dan memiliki kader sebagai bakal Capres paling potensial di Pilpres 2029."

Sayangnya, Anies ternyata menolak permintaan sebagaimana tadi diungkapkan oleh salah seorang fungsionaris PKS DKI Jakarta itu. Jangan-jangan karena penolakan ini pula yang kemudian menjadi (setidaknya salah satu) alasan mengapa akhirnya PKS siap-siap balik badan dan merapat ke kubu KIM Plus pengusung Ridwan Kamil.

Mengapa PDIP?

www.tribunnews.com
www.tribunnews.com

Mengapa Anies perlu masuk dan menjadi kader partai politik? Dengan menjadi kader partai politik tertentu, Anies memiliki sarana yang kongkret dalam kerangka politik elektoral.

Ini akan sangat berguna bukan hanya untuk kepentingan saat ini, yakni Pilgub Jakarta, melainkan juga untuk kepentingan elektoral jangka panjang (setidaknya 5 tahun) ke depan, yakni Pilpres 2029.

Dan jika Anies istiqomah dengan tekadnya untuk mewakafkan diri menjadi pemimpin bangsa kedepan, cepat atau lambat, ia memang harus masuk partai politik dan totalitas menjadi kadernya. Tidak hanya dengan mengandalkan dukungan dari basis massa fanatiknya dan akseptabilitas publik semata. Sekali lagi, kuasa dan peran partai politik sangat menentukan dalam perhelatan elektoral, lokal maupun nasional.    

Selain beguna bagi diri sendiri, bergabungnya Anies ke partai politik tertentu sudah barang pasti juga berguna bagi partai politiknya, baik untuk kepentingan jangka pendek maupun panjang. 

Anies dengan sendirinya akan menjadi asset politik elektoral bagi partainya. Jadi, ada simbiosis mutualisme secara politik antara Anies dengan partai yang dimasukinya.

Lalu partai mana yang saat ini paling tepat bagi Anies? Dengan beberapa alasan yang akan diulas berikut ini, hemat saya PDIP adalah partai yang paling tepat untuk dipilih Anies.   

Pertama, saat ini PDIP dan Anies memiliki kesamaan-kesamaan yang mestinya bisa mempertemukan keduanya dalam satu garis kepentingan. Mereka sama-sama merupakan antitesa atas (haluan dan kebijakan-kebijakan politik) pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dan pemerintahan penerusnya, Prabowo-Gibran.

Selain itu PDIP dan Anies juga sama-sama sedang menghadapi kekuatan hegemonik yang nampaknya sangat berkepentingan untuk "mengisolasi" keduanya dari perhelatan Pilgub Jakarta. 

PDIP ditarget untuk dibiarkan sendirian, Anies ditarget agar tidak mendapatkan partai pengusung. Jika target ini berhasil, maka PDIP dan Anies beserta basis massa dan para loyalisnya di akar rumput bakal menjadi penonton di pesta demokrasi Jakarta.

Kedua, dengan memilih menjadi kader PDIP, dengan sendirinya jalan Anies menuju kanidat Jakarta Satu bakal mulus karena ia sudah menjadi kader internal. 

Ini tentu dengan asumsi ada kesepakatan terlebih dahulu antara Anies dengan PDIP sebagai bakal partai induknya, khususnya tentu saja dengan Megawati sebagai pemegang mandat tunggal pencalonan Pilkada.

Ketiga, dengan cara demikian, jalan PDIP untuk membangun koalisi dengan partai lain juga menjadi lebih mudah karena posisi Cawagub dengan sendirinya bisa diberikan kepada partai yang menjadi kolega koalisinya.

Pilihan bakal koleganya bisa PKB atau Nasdem atau keduanya, karena PKS nampaknya sudah kadung menerima tawaran posisi Cawagub dari KIM Plus, yang kabarnya bakal diberikan kepada Suswono, kadernya yang pernah menjabat Menteri Pertanian di era pemerintahan SBY.

Jika koalisi berhasil dibangun bersama PKB, maka Ida Fauziyah Menteri Tenaga Kerja layak dimajukan sebagai bakal Cawagubnya. Atau jika dengan Nasdem, Sahroni Bendahara Umum Nasdem yang lumayan popular di Jakarta itu juga pantas mendampingi Anies.

Keempat, untuk kepentingan menghidupkan politik kebangsaan, dengan memilih PDIP (atau sebaliknya, PDIP yang "memerahkan" Anies -- meminjam istilah Hasto Kristyanto), "perkwainan" kedua aktor ini dapat menghadirkan suasana Pilgub yang sejuk dari kegaduhan berbasis identitas seperti pernah terjadi pada Pilgub Jakarta 2017 silam.  

Terlebih lagi jika benar kemudian lawan tandingnya adalah Ridwan Kamil -- Suswono.  Warga Jakarta bisa berharap Pilgubnya bakal menghadirkan kontestasi berkelas dari figur-figur cerdas dan berintegritas. Kontestasi dimana masing-masing kubu lebih mengedepankan gagasan-gagasan visioner, programatik dan solutif ketimbang mempertontonkan kembali gimik-gimik tak mendidik atau guyuran Bansos yang tidak mencerdaskan.  

Artikel terkait: Tiga Opsi Kandidasi yang Sama Pentingnya Dipertimbangkan PDIP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun