Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada, Konsolidasi Demokrasi, dan Tanggungjawab Partai Politik

10 Agustus 2024   15:10 Diperbarui: 10 Agustus 2024   15:50 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejalan dengan pemikiran Smith, dua ilmuwan politik penganut pendekatan kelembagaan baru, James March dan Johan Olsen mendalilkan, bahwa "political democracy depends not only on economic and social conditions, but also on the design of political institutions." Bahwa demokratisasi politik tidak hanya bergantung pada kondisi sosial dan ekonomi, tetapi juga pada desain kelembagaan politik.

Asumsi yang mendasari pandangan March dan Olson itu adalah, bahwa Pemilu (termasuk Pilkada) merupakan jalan untuk merotasi kepemimpinan dimana rakyat terlibat secara langsung dan terbuka. Maka Pemilu dan Pilkada merupakan salah satu wujud paling ekspresif dari langkah-langkah politik penataan desain kelembagaan untuk mengonsolidasikan demokrasi.

Sementara itu, dalam perspektif otonomi daerah (yang ruhnya adalah desentralisasi kewenangan pemerintahan), Pilkada langsung juga dapat mengutuhkan implementasi prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi dalam bingkai besar agenda politik nasional. Yakni demokratisasi menuju era kehidupan demokrasi substantif, demokrasi yang sesungguhnya. Karena Pilkada langsung pada dasarnya merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional.

Demikian misalnya yang dinyatakan oleh Tip O Neil seperti dikutip Agustino (2014), "all politics is local." Maksudnya bahwa demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila pada tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat.

Atau sebagaimana dinyatakan pula oleh Juan J. Linz dan Alfred Stepan (1996), bahwa suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memberikan kebebasan kepada warganya untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi. Kemudian memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai, serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan-jabatan politik, nasional maupun lokal.

Dalam konteks itu, Pilkada langsung mengejewantahkan adanya desentralisasi tatakelola kekuasaan pada tahap dan sumber muasalnya, yaitu rakyat. Kemudian seperti dinyatakan Joseph A. Schumpeter dalam Kacung Marijan (2007), bahwa demokrasi yang sesungguhnya memang hanya mungkin dapat diwujudkan manakala terdapat pranata politik yang memungkinkan terciptanya 3 (tiga) situasi politik ideal. Yaitu political equality, local accountability, dan local responsiveness. Dan pranata yang paling tepat untuk ini adalah penyelenggaraan Pilkada langsung oleh rakyat di daerah.

Komitmen dan Tanggungjawab

Untuk mewujudkan khittah Pilkada langsung yang demikian itu dibutuhkan komitmen dan tanggungjawab politik, moral dan sosial partai-partai. Yakni berupa kepatuhan pada tanggungjawab politik sebagai pemasok calon-calon pemimpin yang mandiri dan bermartabat serta pada kaidah-kaidah etik dalam mempersiapkan dan memprosesnya.

Selain itu juga komitmen dan tanggungjawab atas pemenuhan hak-hak publik untuk memperoleh pilihan-pilihan yang memadai atas kandidat pemimpinnya. Dan akhirnya, sudah barang pasti juga komitmen dan tanggungjawab pada idealisme yang seharusnya menjadi alas moral dalam setiap pengambilan keputusan strategis untuk konstituennya di daerah.

Komitmen dan tanggungjawab yang demikian itu penting. Selain untuk mengonsolidasikan demokrasi dengan benar, juga penting untuk membangun integritas kolektif dan menghidupkannya menjadi tradisi bersama dalam kehidupan keseharian antara elit dengan masaa, pemimpin dengan rakyatnya.

Jangan hanya pintar menjejali rakyat dengan seruan-seruan agar menjadi pemilih yang berintegritas, kritis dan cerdas. Sementara para elitnya sendiri sejak awal hanya berpikir untung-rugi elektoral, menghempaskan sendiri daya kritis dan kecerdasan moralitas politiknya ke tong sampah demokrasi.   

Rakyat membutuhkan teladan yang baik dan model integritas. Menyiasati dengan segala macam taktik untuk memenangi kontestasi Pilkada dengan memaksakan calon tunggal adalah bentuk teladan busuk, nir-komitmen dan absennya tanggungjawab moral politik para elit. Partai atau gabungan partai manapun pelakunya !     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun