Beberapa kali saya tulis tentang Pilkada Jakarta dan Banten. Sosok Anies, PDIP, dan PKS di Jakarta dan figur Airin, PDIP, dan Golkar di Banten paling sering masuk analisis. Tetapi penting saya kemukakan, bahwa isu sentralnya sebetulnya bukanlah tentang Anies Baswedan, Airin Rachmi Diany, PDIP, PKS maupun Golkar. Selaku pribadi, saya tidak punya urusan dengan semua aktor politik ini, baik di Banten apalagi di Jakarta.
Lantas apa? Saya tulis berulang kali dan akan terus saya gaungkan melalui tulisan, diskusi-diskusi di kelas maupun di luar kampus, bahkan di ruang-ruang terbatas dan tempat kongkow macam gardu ronda soal pentingnya mengingatkan berbagai pihak terutama para elit partai politik untuk menyadari betul bahwa Pilkada haruslah menjadi momen untuk terus mengonsolidasikan demokrasi sekaligus menjaga kewarasan berdemokrasi.
Dan premis itu tentunya juga berlaku bagi daerah-daerah lain yang memiliki dinamika politik elektoral serupa atau yang mirip-mirip. Letak kemiripannya antara lain pada fenomena insecuritas partai politik di daerah, jebakan elekotarlisme akut yang dicirikan oleh orientasi tunggal yakni sekedar memenangi kontestasi meski harus ditempuh dengan cara Machiavellian, tanggungjawab moral dan etik, bahayanya politik kartel, serta komitmen mendengar dan memperjuangkan aspirasi publik di daerahnya.
Kembali ke KhittahÂ
Ide dasar perubahan mekanisme Pilkada dari tidak langsung menjadi langsung (dari elite vote ke popular vote) adalah pentingnya agenda demokratisasi untuk memperkuat atau mengonsolidasikan demokrasi di aras lokal. Dalam perspektif pendekatan kelembagaan baru (new institutionalism) Pilkada langsung merupakan jalan utama untuk mewujudkan demokrasi substantif. Â
Merujuk pada pemikiran Brian C. Smith (1998), demokratisasi di tingkat lokal berupa Pilkada langsung itu penting karena ia merupakan prasyarat bagi terbangunnya demokrasi di tingkat nasional. Berikut argumentasi teoritiknya.
Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis. Hal ini terutama karena tingkat proximity (kedekatan) yang lebih dekat antara pemerintah daerah dengan rakyat.
Kedua, pemerintah daerah dipandang sebagai pengontrol perilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan berkecenderungan anti-demokrasi yang kerap muncul pada masa transisi dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis. Di dalam masa transisi ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar-menawar kekuasaan yang lebih kuat atas kekuasaan dan otoritas pemerintah pusat.
Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi di tingkat nasional. Fakta bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih mengenal di antara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi di daerah itu lebih bermakna dibandingkan dengan di tingkat nasional.
Bagi Smith, partisipasi di daerah lebih memungkinkan bertumbuhnya tradisi deliberative democracy. Praktik demokrasi yang mengedepankan komunikasi dan dialog-dialog diskursif dan lebih partisipatif.
Keempat, legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat