Dilain waktu kemudian Rasulullah memberi petunjuk tentang mimpi baik dan mimpi buruk dalam sabdanya : "apabila salah seorang kamu melihat suatu mimpi yang disukainya, maka sesungguhya dia itu dari Allah, maka hendaklah ia mengucapkan, 'alhamdulillah', dan hendaklah ia ceritakan isi mimpi itu kepada orang lain. Tapi apabila ia melihat sesuatu yang tidak disukai dalam mimpinya, maka sesungguhnya ia itu dari syetan. Maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dari kejahatannya, dan jangan ia ceritakan kepada seorangpun, sebab dia itu membahayakan" (H.R. At tirmidzi).
Hadits itu memberi isyarat bahwa apabila manusia mengalami suatu mimpi atau peristiwa yang baik, maka ceritakanlah kepada orang lain, karena cerita baik itu akan memberi hikmah kepada orang yang mendengarnya, bahkan jika kebaikannya berupa ilmu pengetahuan maka harus diajarkan kepada orang lain. Sebaliknya suatu mimpi atau peristiwa yang buruk jangan diceritakan kepada orang lain, karena dikhawatirkan akan dikerjakan oleh orang yang mendengarnya.
Tak dapat dipungkiri, terutama bagi umat yang beriman, mimpi juga merupakan salah satu media Allah untuk menyampaikan wahyu kepada rasulnya, disamping cara penyampaian wahyu melalui malaikat Jibril, seperti dinyatakanNya dalam Al Qur'an sendiri. "dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur'an dari sisi (Allah) yang maha bijaksana lagi maha mengetahui " (QS. An Naml : 6). "dia dibawa turun oleh Ar ruh al Amin (fibril)" (QS. Asy syu'ara : 193).
Turunnya wahyu ada yang berupa berita tentang sesuatu yang gaib, seperti tentang syurga, tentang neraka, lauhul mahfuzh dan sebagainya, atau berita tentang yang selainnya. Semua berita wahyu melalui mimpi itu pasti benar, karena para rasul mendapat bimbingan langsung dari Allah.
Transformasi Mimpi Menjadi Rumah Para Santri
Tidak ada satupun fenomena kauniyah maupun qauliyah yang Allah ciptakan dengan sia-sia. Semua memiliki makna dan tujuan; semantik, substantif maupun filosofis. Termasuk juga fenomena "mimpi" sebagaimana sudah diuraikan ringkas diatas. Kewajiban manusia adalah membaca, memahami, menghayati, dan "memaknai" setiap fenomena itu untuk mewujudkan relatifitas kesempurnaan dirinya di hadapan Allah, Sang Maha Fenomenologis.
Berpijak pada perspektif diatas tadi, Syaikh Khalid al 'Anbari, menyederhanakan mimpi kedalam tiga kategori : Pertama, ru`ya shalihah. Yakni mimpi yang berisi kabar gembira, dan pastilah berasal Allah SWT. Kedua, mimpi buruk dan dibenci. Yakni mimpi yang berisi hal-hal buruk dan menakutkan yang berasal dari syetan untuk membuat manusia bersedih dan mempermainkannya. Di dalam beberapa hadits dinyatakan : "ru'ya itu datangnya dari Allah dan al hulm itu datangnya dari syaitan"Â (Bukhori, At Tirmidzi).
Ketiga, mimpi psikologis. Yakni mimpi yang diakibatkan oleh kondisi psikologis seseorang dalam keadaan jaga yang kemudian bersemayam dialam bawah sadarnya, lalu terbawa dan mengejawantah melalui mimpinya. Inilah barangkali, yang dalam ungkapan keseharian lazim disebut sebagai "bunga tidur".
Sementara itu menurut Ibnu 'Arabi, disamping memiliki substansi sebagai pemenuhan keinginan (mirip dengan teori psikoanalisisnya Sigmund Freud), mimpi juga dipandang sebagai situasi penciptaan sebagai pernyataan tidur, dimana kosmos yang tercipta terlihat sebagai mimpi Illahi. Dalam konteks ini pengalaman manusia merupakan citra mikrokosmik.
Oleh karena itu, seluruh situasi penciptaan yang memerlukan "alam yang lain" untuk mempengaruhi tujuannya, dapat dipandang sebagai semacam "Ilusi Ilahiyah", dimana ilusi sesuatu yang "bukan Aku" diperkenalkan pada kesadaran Illahi sebagai refleksi posibilitasnya. Pada titik inilah Ibnu 'Arabi memandang mimpi sebagai salah satu sumber ilmu maupun risalah kenabian. Dan memang, seperti pernah diriwayatkan dalam salah satu hadits Bukhori, bahwa "ru`ya shadiqah (mimpi baik) itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian".
Sekali lagi, sebagai sebuah fenomena, mimpi diciptakan Allah tidak tanpa makna dan tujuan. Bahkan mimpi yang sekedar merupakan implikasi dari situasi psikologis tertentu manusia sekalipun. Dan lagi-lagi, "akan menjadi apa mimpi itu serta memberi pengaruh bagaimana pada seseorang", tergantung pada bagaimana ia membaca, memahami dan memaknainya untuk kepentingan mewujudkan relatifitas kesempurnaan pribadinya di hadapan Allah SWT.