Ada suatu lelucon getir yang kerap mengemuka dalam percakapan publik. Bahwa bangsa ini adalah bangsa pelupa, pengidap amnesia akut. Bangsa yang terlalu mudah melupakan isu-isu besar dan strategis yang berdampak buruk pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu berpindah fokus pada isu-isu baru, yang juga tak tuntas penyelesaiannya, dan kembali membiarkan atau melupakannya.
Berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu adalah salah satu contohnya, baik yang berskala luas maupun terbatas. Pun demikian halnya dengan kasus-kasus korupsi, isu-isu politik dan sosial-kemasyarakatan lainnya terjadi dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Contoh kasus yang belum terlalu lama ramai menjadi perbincangan adalah soal hak angket DPR terkait dugaan pelanggaraan dan kecurangan Pemilu 2024 lalu. Publik seakan diajak untuk meramaikannya, lalu dijanjikan penunatasannya. Tapi kemudian dengan cepat semua orang seolah "dipaksa" untuk melupakannya, seiring dengan bermunculannya kasus-kasus baru di tengah masyarakat.
Amnesia sejarah (elektoral) ini belakangan semakin menjadi-jadi karena semua orang sekarang lagi-lagi seperti "dipaksa" pindah fokus. Lupakan Pemilu, lupakan Pilpres, apalagi hak angket DPR, dan beralihlah ke Pilkada. Tetapi percayalah, beres Pilkada yang sangat mungkin juga bakal diwarnai berbagai persoalan, semua orang akan dengan cepat pula melupakannya.
Pesta paling Buruk ? Â
Buku berjudul Pesta Demokrasi Bertabur Ironi yang saya terbitkan adalah ikhtiar kecil untuk "melawan amnesia" terhadap (bagian dari) sejarah perjalanan bangsa ini. Khususnya sejarah demokrasi elektoral, sejarah kepemiluan mutakhir Indonesia.
Sebagaimana publik tahu, penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu banyak diwarnai berbagai persoalan serius. Mulai dari pelanggaran etik, dugaan penyalahgunaan kewenangan, pelibatan aparat Negara hingga ke politisasi bantuan sosial (bansos) yang masif di berbagai daerah.
Tidak mengherankan jika kemudian kalangan akademisi dan pegiat Pemilu menilai penyelenggaraan Pemilu 2024 merupakan yang terburuk dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Seperti diungkapkan dengan nada prihatin oleh Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden pada sebuah diskusi di Kampus FISIP Universitas Indonesia Depok, Kamis 7 Maret 2024 silam.
"Kita baru saja melewati suatu cara pemerintahan demokratis dengan pemilu ini yang bagi kita, bagi banyak pihak yang menilai bahwa ini perlu dikoreksi, perlu dievaluasi. Bagi saya, saya pernah mengatakan ini adalah pemilu terburuk dalam sejarah pemilihan sejak tahun 1955."Â (www.voaindonesia.com, 24 Maret 2024).
Suatu penilaian yang tidak mengejutkan karena selain beliau, berbagai kalangan terpelajar dan berintegritas juga memberikan penilaian yang sama.
Penilaian perihal buruknya penyelenggaraan Pemilu 2024 dalam pengertian tidak memenuhi prinsip-prinsip jujur dan adil serta azas-azas universal Pemilu demokratis didasarkan pada sejumlah fakta yang sudah banyak diungkap-kupas di berbagai media dan forum diskusi oleh para ahli, akademisi dan pegiat Pemilu. Mulai dari kasus putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 yang telah membuka jalan konstitusional bagi Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon Wakil Presiden, penyalahgunaan dana Bansos, hingga ke pengerahan aparat negara untuk membantu pemenangan Paslon Prabowo-Gibran.Â
Melawan Lupa melalui Kompasiana
Buku ini --meski tidak cukup komprehensif menyajikan fakta-fakta seputar isu-isu sensitif tersebut karena memang tidak dirancang sebagai dokumen akademik yang ketat-- merupakan rekaman atas jejak sejumlah peristiwa penting elektoral di sepanjang perhelatan Pemilu 2024, terutama sejak proses pra-kandidasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Disajikan dalam dua edisi yang berbeda, buku ini merupakan kumpulan tulisan yang memuat opini dengan berbagai perspektif terkait isu-isu elektoral tersebut. Sebagian besar tulisan merupakan konten saya di kompasiana. Sebagian kecil dipublikasikan di beberapa media lain, dan sisanya merupakan artikel-artikel baru yang ditulis untuk melengkapi perspektif dan analisisnya.
Edisi pertama buku ini berjudul Pesta "Demokrasi Bertabur Ironi: Cawe-cawe Jokowi dan Robohnya Pilar Etik." Istilah "cawe-cawe" pernah digunakan sendiri oleh Presiden Jokowi. Sementara edisi kedua (dalam proses proofreading di penerbit) bertajuk "Pesta Demokrasi Bertabur Ironi: Wakanda No More, Indonesia Forever." Anak judul ini adalah frasa yang digunakan Anies Baswedan ketika mengakhiri Debat Capres sesi pertama.
Sebagaimana lazimnya suatu kumpulan tulisan, artikel-artikel dalam buku ini membahas berbagai topik yang beragam. Hanya saja, jika boleh sedikit "narsis", berbeda dengan kumpulan tulisan pada umumnya, berbagai isu yang dibahas semuanya terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, khususnya Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2024.
Penyajian isu-isu sebagaimana tercermin dalam judul-judul tulisan dilakukan dengan dua pendekatan sekaligus. Pertama berdasarkan kedekatan dan keterkaitan antar topik atau isu yang dibahas. Kedua berdasarkan urutan waktu peristiwa berlangsung dan tulisan dipublikasikan di media.
Sekali lagi, selain tentu saja memuat artikulasi pandangan dan sikap saya sebagai warga negara atas setiap isu yang muncul den berkembang di sepanjang perhelatan Pilpres 2024, buku ini sejatinya merupakan rekaman atas jejak peristiwa demokrasi elektoral Indonesia kontemporer.
Dalam konteks membaca, menafsir dan menyikapi peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagaimana direkam dalam buku ini sudah barang pasti, saya dan pembaca bisa berbeda. Ini lumrah. Inilah salah satu hakekat demokrasi sekaligus natur yang tidak bisa dihindari, dan bahkan harus dijaga bersama. Karena setiap warga negara pasti memiliki latar belakang, preferensi dan orientasi yang beragam dalam melihat setiap fenomena yang berkembang.
Tetapi sebagai warga negara yang bergumul di lingkungan akademik, terkait semua materi tulisan dalam buku ini saya telah berusaha objektif dan jujur. Setidaknya jujur pada hatinurani ketika mengulas atau membahas setiap peristiwa dan isu yang berkembang. Semoga manfaat.
Artikel terkait: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/6685362aed64157135412595/ketua-kpu-akhirnya-diberhentikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H