Pasca kesepakatan (sementara?) tujuh partai politik bakal mengusung Andra-Dimyati di Pilgub Banten 2024 sejumlah pertanyaan krusial penting dicermati. Misalnya, bagaimana dengan nasib Airin-Golkar? Lalu PDIP dan Demokrat, langkah apa yang bakal diambil partainya Megawati dan partainya SBY ini? Karena kedua partai ini masih "menjomblo." Bikin koalisi kedua? Atau menyusul ke barisan pengusung Andra-Dimyati?
Dan yang lebih penting bagi warga Banten dari urusan nasib politik Airin-Golkar, serta jalan elektoral PDIP dan Demokrat yang bakal ditempuh adalah ini: sanggupkah partai-partai politik di Banten menawarkan opsi-opsi pasangan calon yang pantas, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas figur-figur yang dimajukan?
Kuantitas yang dimaksud tidak lain adalah jumlah paslon yang dihasilkan dari komunikasi, penjajagan dan akhirnya pembentukan kerjasama atau koalisi. Secara teoritik semakin sedikit jumlah paslon semakin kecil opsi yang tersedia bagi warga Banten untuk memilih, dan ini tidak sehat bagi demokrasi. Demikian sebaliknya.
Potensi yang pantas dikhawatirkan terkait soal jumlah paslon itu adalah munculnya pasangan calon tunggal lantaran gejala ketersanderaan partai-partai oleh model perilaku politik kartel seperti yang diulas sepintas pada bagian pertama artikel ini. Tidak ada satupun partai yang berani mengambil langkah beda dan siap menjadi "martir" demokrasi, lalu memilih bergerombol dalam satu koalisi gigantis.
Aspek kualitas pastinya berkenaan dengan fit and proper, kecakapan dan kepantasan figur-figur kandidat. Â Kecakapan/kelayakan berhubungan dengan sisi kapasitas dan kompetensi, didalamnya termasuk keunggulan dan pengalaman kepemimpinan. Sementara Kepentasan/ kepatutan berhubungan dengan soal karakter moral atau etik.
Disalip Kawan Seiring
Isu krusial pertama pasca kesepakatan tujuh partai mengusung Andra-Dimyati adalah soal nasib Airin dan Golkar. Dibanding figur-figur bakal Cagub dan Cawagub yang saat ini beredar, termasuk Andra Soni (Gerindra) dan Dimyati Natakusumah (PKS), Airin adalah sosok yang paling awal menyosialisasikan diri sebagai bakal Cagub, ke antero Banten. Ia, kabarnya juga paling awal mendapatkan penugasan (atau bahkan rekomendasi?) partainya untuk maju di Banten. Â
Dari sisi kecakapan maupun kepantasan Airin juga dapat. Ia mantan Walikota Tangsel yang dinilai berhasil, kepemimpinannya cukup teduh meski warga Banten kerap diasosiasikan bertipikal keras. Satu-satunya yang bisa menjadi "pengganggu" elektabilitas Airin adalah, bahwa ia merupakan bagian dari keluarga dinasti politik di Banten. Airin adalah isteri Tb Chaeri Wardana, adik kandung Ratu Atut, mantan Gubernur Banten yang pernah tersandung kasus suap dan korupsi.
Beberapa lembaga survei yang menyigi potensi elektabilitas figur-figur bakal kandidat di Banten juga menempatkan Airin dalam posisi teratas. Bahkan mengalahkan nama-nama populer lain seperti Wahidin Halim dan Rano Karno, keduanya mantan Gubernur Banten. Apalagi dibanding Andra dan Dimyati, Airin jauh diatas mereka.
Untuk melengkapi potensi elektabilitasnya, Airin juga telah mengambil langkah penjajagan yang cukup taktis. Yakni dengan membidik Ade Sumardi, mantan Wakil Bupati Lebak dua periode yang kabarnya bakal dipasang sebagai bakal Cawagubnya. Ade dinilai bisa mengcover pemilih di Selatan Banten dimana popularitas dan elektabilitas Airin tidak sekuat di Utara Banten, terutama Tangerang Raya.
Tetapi Airin tidak mungkin dimajukan oleh Golkar jika sendirian. Karena Golkar sama saja dengan Gerindra dan PDIP, yang hanya meraih 14 kursi di DPRD Banten hasil Pemilu 2024 lalu. Jumlah kursi yang tidak cukup untuk mengusung paslon tanpa koalisi dengan partai lain.
Setelah tak mungki maju tanpa koalisi, Airin-Golkar tetiba saja disalip para kolega elektoralnya, kawan seiring di Pilpres 2024 lalu. Kecuali Demokrat, semua parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) sepakat mengusung Andra-Dimyati (Gerindra-PKS) dan kabarnya sedang menyiapkan format koalisi Pilkada se-Banten dengan nama Koalisi Banten Maju (KBM). Menariknya, tiga partai pengusung semangat perubahan di Pilpres 2024 (PKS, PKS, Nasdem) juga bergabung. Juga PPP yang berkongsi dengan PDIP di Pilpres 2024.
Ujian Bagi Golkar
Per hari ini, pasca kesepakan tujuh partai pengusung Andra-Dimyati telah membuat Airin-Golkar berada di ujung tanduk. Kecuali Golkar memiliki keberanian dengan memilih jalan berbeda dari keinginan Prabowo, pemimpin Koalisi Indonesia Maju (KIM) sekaligus calon Presiden terpilih yang nyata-nyata sudah memberikan rekomendasi pada Andra-Dimyati.
Dalam konteks menjaga api demokrasi elektoral di Banten tetap menyala dan layak dibanggakan sekaligus pentingnya masyarakat Banten diberikan pilihan-pilihan yang memadai, Golkar dituntut memiliki keberanian untuk ambil langkah berbeda. Bisa dengan mengajak PDIP dan Demokrat, atau minimal salah satu diantara keduanya, untuk membangun koalisi sendiri dan siap menghadapi koalisi gigantis tujuh partai. Dengan cara demikian, potensi munculnya pasangan calon tunggal bisa dihindari.
Dengan memilih PDIP atau Demokrat, apalagi jika keduanya untuk bekerjasama, Airin bisa maju dan menjaga momentum terbiaknya saat ini untuk menjadi orang nomor satu di Banten. Posisi bakal Cawagub bisa Ade Sumardi (PDIP) yang sejauh ini memang sudah coba dibidik. Atau bisa juga Iti Oktavia (Demokrat), mantan Bupati Lebak dua periode. Iti dan Ade mewakili belahan Selatan Banten dan sama-sama pernah memimpin Lebak sebagai Bupati dan Wakil Bupati.
Dari sisi popularitas dan mungkin juga elektabilitas, Iti nampaknya lebih unggul dibanding Ade. Karena Iti mantan Bupati, sementara Ade mantan Wakilnya. Iti juga punya modal besar lain, ia adalah anak Jabayabaya, "orang kuat" di Lebak yang pernah menjabat Bupati Lebak dua periode.
Tetapi jika Airin mengambil Iti, ada dua potensi problematik yang kurang menguntungkan secara elektoral. Pertama adalah paket bakal paslon Gubernur dan Wakil Gubernur yang sama-sama perempuan potensial memicu semacam resistensi tersendiri di Banten. Kedua, jika pun paket dua srikandi ini jadi misalnya, Jayabaya mungkin tidak akan bisa memaksimalkan sokongannya karena relasi yang dekat Jayabaya dengan Prabowo seperti ditunjukan pada Pilpres 2024 lalu.
Maka pilihan terakhir dan nampaknya paling realistis bagi Airin-Golkar adalah memilih Ade Sumardi sebagai bakal Cawagub dan otomatis berkoalisi dengan PDIP. Gabungan kedua partai ini memiliki 28 kursi di DPRD Banten, cukup untuk mengusung satu paket pasangan calon. Memang ada resiko, yakni partai Demokrat sangat mungkin menyusul bergabung dengan koalisi gigantis tujuh partai.
Menghindari Potensi Calon Tunggal
Di luar nama Airin, Andra-Dimyati dan kalkulasi diatas sebetulnya masih tersedia opsi lain untuk menghindari munculnya calon tunggal dalam Pilgub Banten. Opsi ini beririsan dengan figur Arief Wismansyah, kader Demokrat yang belakangan makin aktif menyosialisasikan diri sebagai bakal Calon Gubernur, dan Ahmad Syauqi, putra Wapres Kyai Ma'ruf Amin yang juga fungsionaris di DPP PKB.
Arief adalah mantan Walikota Tangerang dua periode yang dinilai cukup berhasil, dan sejauh ini tidak ada persoalan dengan urusan moralitas dan integritas, setidaknya yang saya ketahui. Arief sama dengan Iti Oktavia, sama-sama kader unggul Demokrat di Banten. Popularitasnya mungkin juga setara dengan Iti meski jelas masih dibawah Airin.
Tetapi dengan kesepakatan tujuh partai pengusung Andra-Dimyati dan sisa tiga partai di DPRD Banten (termasuk Demokrat di dalamnya) yang belum membangun koalisi, peluang Arief jadi menyempit.
Pertama, karena seandainyapun Golkar mengajak dan sepakat kerjasama dengan Demokrat, tentu peluang Iti lebih besar untuk dipasang sebagai bakal Cawagub disbanding Arief. Tapi saya sendiri tidak yakin Demokrat mau bekerjasama dengan Golkar yang artinya harus berhadapan dengan Andra-Dimyati yang didukung Prabowo.
Kedua, jalan untuk posisi bakal Cagub bisa saja dibuka oleh PDIP untuk Arief dengan "membajaknya" dari Demokrat, lalu dipasangkan dengan Ade Sumardi sebagai bakal Cawagubnya. Masalahnya kemudian dengan siapa PDIP berkoalisi, karena Golkar dan Demokrat nyaris tidak mungkin mau diajak kerjasama jika paslonnya Arief-Ade.
 Satu-satunya jalan bagi Arief adalah berharap kesepakatan tujuh partai terkoreksi oleh dinamika prakandidasi. Misalnya Nasdem dan PKB keluar. Gabungan kursi di DPRD Banten dari dua partai ini cukup untuk mengusung satu paket pasangan calon. Arief misalnya "diambil" Nasdem untuk dimajukan sebagai bakal Cagub dan Ahmad Syauqi (putra Wapres Kyai Ma'ruf) yang juga kader PKB sebagai bakal Cawagub.
Jika opsi Arief-Syauqi ini gagal dimajukan, dan nampaknya memang sangat berat, maka pesta demokrasi elektoral di Banten kemungkinan besar hanya akan mampu menyajikan dua racikan menu : Andra-Dimyati versus Airin-Ade.
Sangat minimalis memang. Tetapi masih jauh lebih baik ketimbang misalnya sisa anggota KIM di Pilpres 2024, yakni Golkar dan Demokrat juga menyusul gabung ke koalisi gigantis KBI di Pilgub Banten 202 dengan menghempaskan Airin dan meninggalkan PDIP sendirian.
Menyedihkan tentu saja jika hal itu yang terjadi. Bukan karena Airin dihempaskan atau PDIP ditinggalkan sendirian. Melainkan karena dengan demikian warga Banten hanya diberikan satu sajian menu alias calon tunggal oleh partai-partai yang tersandera politik kartel dan pragmatika akut.
Artikel terkait:Â https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/6684e6f7ed64155c277a1c62/politik-kartel-dalam-proses-kandidasi-pilgub-banten
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H