Spekulasi yang pertama, seperti dialami elit-elit partai politik, pimpinan DKPP mungkin juga "tersandera" oleh kekuasaan. Bukan karena dugaan kasus korupsi dan yang sejenisnya. Melainkan "tersandera" oleh jasa yang harus dibalas ketika mereka terpilih dulu, baik kepada partai politik maupun Presiden.
Spekulasi yang kedua DKPP terlampau "peduli" dengan dinamika politik elektoral yang masih panas. Dalam konteks ini mereka boleh jadi berpikir bahwa terlalu riskan untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap Ketua KPU dalam situasi perhelatan Pemilu masih berlangsung dan tengah memasuki fase sangat krusial kala itu.
Kini, tahapan Pemilu 2024 sudah sangat melandai. Pertengkaran sosial sebagai dampak polarisasi Pilpres makin mereda. Perlahan publik akhirnya juga "menerima" (meski tentu saja dengan sederet catatan kritis) hasil Pemilu. Khususnya Pilpres yang sempat sangat gaduh sejak fase kandidasi hingga menjelang putusan MK atas gugatan PHPU Anies-Gus Imin dan Ganjr-Mahfud.
Saat ini KPU RI dan jajaran bahkan sudah makin sibuk mempersiapkan perhelatan berikutnya, yakni Pilkada serentak November 2024 mendatang. Tetapi di tengah kesibukan ini "terasa" tetiba begitu saja, DKPP memberhentikan Ketua KPU secara tetap dalam kasus yang sebetulnya nyaris sama dengan sanksi yang pertama untuk Hasyim. Yakni dugaan pelanggaran asusila. Mengapa kala itu hanya sanksi peringatan keras, dan tidak sampai diberhentikan?
Bertolak dari pertanyaan itulah, menyertai pemberhentian Hasyim Asy'ari ini sebuah spekulasi  juga segera saja beredar di ruang publik (bisa dicek di berbagai akun media sosial milik portal berita): "kontrak" kepentingan politik mungkin dianggap sudah berakhir, dan Hasyim Asy'ari tidak dibutuhkan lagi. Seculas inikah perilaku kekuasaan? Wallahu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H