Â
Norma Kewenangan DKPP
Di dalam Pasal 1 angka 24 dan Pasal 457 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan, bahwa tugas DKPP menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu. Kemudian di Pasal 458 UU 7 Tahun 2017 yang sama dijelaskan, bahwa DKPP menetapkan putusan setelah melakukan penelitian dan/atau verifikasi terhadap pengaduan tersebut, mendengarkan pembelaan dan keterangan saksi, serta mempertimbangkan bukti lainnya (ayat 10). Putusan mana bisa berupa sanksi atau rehabilitasi.
Jika putusan tersebut berupa sanksi, didalam ayat (12) dijelaskan sanksi itu secara opsional dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap untuk Penyelenggara Pemilu. Dan pada ayat (13) ditegaskan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
Perihal sanksi terhadap penyelenggara Pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik diatur lebih detail di dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Di dalam Pasal 21 Peraturan DKPP ini disebutkan, bahwa DKPP berwenang menjatuhkan sanksi terhadap Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Sanksi sebagaimana dimaksud didalam Pasal 21 tersebut secara opisonal bisa berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap (Pasal 22 ayat 1). Kemudian pada ayat 2 Pasal 21 ini disebutkan bahwa teguran tertulis itu berupa peringatan atau peringatan keras. Dan pada ayat 3-nya dinyatakan bahwa sanksi pemberhentian bisa berupa pemberhentian dari jabatan Ketua atau pemberhentian tetap sebagai anggota (komisioner) KPU.
Dari beberapa norma ketentuan tersebut dapat disimpulkan. Pertama sanksi berupa teguran tertulis hanya ada dua kategori, yakni peringatan dan peringatan keras. Entah bagaimana pertimbangannya DKPP kemudian mengintrodusir dan memberlakukan  kategori teguran yang ketiga, yakni "peringatan keras terakhir".
Terkait hal itu, baik di UU Pemilu maupun didalam Peraturan DKPP memang tidak ditemukan norma tertulis dan penjelasannya mengenai frasa "peringatan keras terakhir" ini. Apa maksudnya dan bagaimana konsekuensi dari sanksi teguran kategori ketiga ini. Misalnya jika yang bersangkutan telah menerima teguran "peringatan keras terakhir" lebih dari satu kali apa konsekuensi atau implikasi hukum selanjutnya.
Tetapi jika menggunakan logika, setidaknya common sense (akal sehat) publik, pelanggar kode etik yang telah lebih dari satu kali mendapatkan sanksi teguran berupa "peringatan keras terakhir", mestinya berlanjut ke level sanksi yang lebih berat yakni pemberhentian (baik dari jabatan Ketua atau status sebagai anggota KPU). Bukan malah dijatuhi lagi sanksi yang sama, yaitu "peringatan keras terakhir" lagi. Â Â
Kedua, bahwa DKPP memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian, termasuk pemberhentian tetap sebagai anggota KPU. Sekali lagi, dalam nalar sehat publik, ketika seorang terhukum/tersanksi pelanggar kode etik telah dijatuhi peringatan keras terakhir sekali saja, maka tahapan sanksi berikutnya mestinya lebih berat lagi level atau kualifikasinya dan tuntas. Dan itu tidak ada opsi lain kecuali pemberhentian.
Pada titik inilah maka kemudian, sekali lagi publik pantas mempertanyakan, mengapa DKPP masih terus saja menjatuhi sanksi "peringatan keras terakhir"? Bukan pemberhentian. Lantas, "akhir dari yang terakhir" itu kapan dan bagaimana?
Spekulasi Politik
Dampak dari enam kali peringatan dan/atau peringatan keras terakhir untuk Ketua KPU RI itu, yang sekali lagi jika menggunakan nalar sehat publik mestinya sudah sampai pada level sanksi yang lebih berat namun faktanya (sangat mungkin) masih akan terus berlanjut dengan "peringatan keras terakhir" untuk kesekian kalinya nanti, spekulasi politik kemudian sempat berkembang.