Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Manuver PKB di Balik Wacana Anies-Kaesang dalam Pilkada DKI

14 Juni 2024   21:30 Diperbarui: 15 Juni 2024   06:38 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Jumat (14/6/2024). (KOMPAS.com/ Tatang Guritno)

"....Bismillah, kami bersiap untuk meneruskan ke periode kedua." 

Demikian pernyataan Anies Baswedan seperti dikutip Kompas.com hari ini, 14 Juni 2024. Pernyataan ini dikemukakan Anies setelah menerima rekomendasi pengusungan dari DPW PKB DKI Jakarta.

Mengejutkan? Sama sekali tidak. Ada banyak alasan yang mendorong Anies akhirnya menyatakan siap maju ke arena Pilkada DKI 2024.

Pertama, Anies adalah mantan petahana terakhir Gubernur DKI yang baru satu periode menjabat. Artinya secara normatif ia masih memiliki kesempatan untuk mencalonkan kembali.

Kedua, Anies dianggap berhasil memimpin dan mengubah Jakarta, setidaknya oleh tim dan para pendukungnya. Dengan demikian, Anies merasa memiliki investasi politik yang layak untuk dijemput dan dilanjutkan pada periode kedua.

Ketiga, elektabilitas Anies boleh jadi juga masih yang tertinggi untuk Pilkada DKI 2024. Fenomena ini terlalu sayang jika tidak dimanfaatkan di tengah figur-figur baru yang membidik Jakarta dan kini sedang berjibaku mendongkrak popularitas dan elektabilitas masing-masing.

Keempat, bagi Anies menjadi Gubernur DKI adalah salah satu cara untuk menjaga momentum popularitas dan ikon perubahan yang tersemat pada dirinya agar tidak meredup dalam jangka panjang, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

Kelima, partai politik pertama yang memberikan mandat atau rekomendasi pencalonannya adalah PKB, koalisinya pada saat Pilpres kemarin. Dalam konteks ini nampaknya Anies percaya penuh dengan keseriusan PKB meski Ketuanya sendiri, Gus Imin sudah menyatakan diri siap bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.

www.tempo.co
www.tempo.co

Manuver PKB

Lantas bagaimana menjelaskan fenomena politik yang terasa paradoks ini? Ada dua kemungkinan spekulatif yang bisa dibaca.

Pertama, PKB-Gus Imin sedang menjerat atau lebih tepatnya menggiring Anies kedalam jaring politik untuk mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. 

Hal ini dilakukan PKB sebagai prasyarat dari Prabowo untuk memastikan 1 jatah portofolio di kabinet. Kompensasinya pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan definitif 20 Oktiber 2024 (artinya sebelum Pilkada November) bakal all out mendukung Anies di Pilkada DKI. Tetapi tentu dengan satu prasyarat kunci, Cawagub Anies harus dari koalisi pendukung Prabowo-Gibran.

Oleh sebab itulah nampaknya PKB mulai mempromosikan wacana kemungkinan memasangkan Kaesang (Ketua Umum PSI) sebagai Cawagub Anies. Sekali lagi, ini adalah soal manuver PKB yang sangat mungkin disetujui Prabowo-Gibran meski belum tentu disepakati anggota Koalisi Indonesis Maju.

Jika Anies dan (sesuai harapan PKB) Kaesang menjadi wagubnya lalu memenangi Pilkada, PKB bakal mendapatkan untung banyak. Di pemerintahan Prabowo posisinya bakal kokoh, minimal 1 atau bahkan 2 jatah kursi di kabinet. 

Di DKI mereka punya Gubernur. Dan dengan demikian PKB juga memiliki investasi politik jangka panjang 5 tahunan, yakni sosok Anies yang akan terjaga popularitasnya dan bisa kembali maju bersama Gus Imin di Pilpres 2029.

Kedua, Gus Imin dan elit PKB menyadari betul bahwa posisinya di koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran lemah. Karena itu mereka harus menyiapkan langkah antisipatif. 

Memberikan rekomendasi pencalonan kepada Anies merupakan antisipasi politik jika mereka akhirnya terpental dari koalisi pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, misalnya karena manuver pertama tadi gagal dijalankan.

Dengan cara demikian, PKB akan tetap menjadi partai yang diperhitungkan bahkan dapat memainkan peran strategis di pentas elektoral (dari Pilkada 2024 ke Pilpres 2029). Terlebih jika Anies, dengan siapapun dipasangkan misalnya, memenangi Pilkada DKI.

Peluang Anies-Kaesang 

Pertanyaan menarik kemudian, bagaimana peluang penyandingan Anies dan Kaesang dalam Pilkada DKI yang nampaknya akan terus dipromosikan oleh PKB? Hemat saya tidak akan mudah, jika bukan mustahil. Sedikitnya karena tiga argumentasi berikut.

Pertama, partai-partai di Koalisi Indonesia Maju cenderung menolak Anies maju kembali di Pilkada DKI, terutama Gerindra, PAN dan Demokrat. Gagasan memasangkan Anies dengan Kaesang adalah bentuk "mbalelo politik" yang nyaris mustahil bisa diwujudkan.

Kedua, pada Pilkada DKI 2024 koalisi pendukung Prabowo-Gibran nampaknya makin bulat untuk memajukan Ridwan Kamil. Dan Kaesang adalah salah satu dari figur-figur yang dimiliki partai-partai di KIM yang paling besar peluangnya, selain karena faktor determinatif Jokowi, Kaesang adalah Ketua Umum PSI yang merupakan anggota Koalisi Indonesia Maju. Jadi, Kaesang itu untuk mendampingi Ridwan Kamil, bukan Anies.

Ketiga, gagasan menyandingkan Anies-Kaesang juga akan memicu resistensi politik baik dari pendukung Anies di Pilpres maupun dari pendukung Prabowo terutama dari basis massa PSI yang selama ini dikenal sangat antipasti terhadap Anies. 

Kecuali PKB, semua partai yang potensial saling berkoalisi baik untuk mengusung Anies maupun Kaesang tentu akan sangat memperhitungkan dengan cermat soal resistensi ini.

Berdasarkan analisis kalkulatif itu, upaya PKB memasangkan Anies dengan Kaesang bakal berakhir prematur. Kecuali Jokowi dan Prabowo kompak "berpikir lain" dan mendukung gagasan PKB. 

Ingat dalilnya: tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik, dan tidak pula makan siang yang gratis. "Berpikir lain" dan yang "tidak gratisnya" itu misalnya seperti yang mungkin ada dalam pikiran spekulatif PKB.

Ujung Manuver

Sebutlah, pada akhirnya gagasan PKB menyandingkan Anies-Kaesang mentok. PKB bahkan dihadapkan pada pilihan dilematis: mengusung Anies (tanpa Kaesang) atau tetap di Koalisis Indonesia Maju sebagai penumpang di pengkolan. Apa yang akan dilakukan PKB?

Jika berani mengambil sikap mandiri demi menjaga marwah partai dengan segala risiko politiknya PKB akan hengkang dari KIM dan melaju terus bersama Anies dengan membangun koalisi bersama PKS, Nasdem, dan mungkin juga PDIP. 

Jika keempat partai ini bisa membangun kerja sama, Jendral Andika (PDIP) akan menjadi salah satu pilihan paling menarik untuk disandingkan dengan Anies. Meski tentu harus bersaing dengan Sohibul Iman dan Mardani Ali Sera (PKS) atau Sahroni (Nasdem).

Bagaimana jika PKB memilih untuk tetap di Koalisi Indonesia Maju karena sudah mendapat kepastian minimal 1 jatah kursi di Kabinet dan pertimbangan lain yang hanya Gus Imin dan elit PKB yang tahu? Apakah dengan demikian rekomendasi pencalonan untuk Anies dicabut? 

Begitulah konsekuensi politik yang mau tidak mau harus dilakukan oleh PKB. Waktulah nanti yang akan menunjukan bagaimana ujung dari manuver politik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun