Di musim Pilkada biasanya pesantren-pesantren (apalagi jika pengasuh atau mudir ma'hadnya adalah Kyai sepuh, karismatik dan memiliki pengaruh kuat di daerahnya) banyak dikunjungi para bakal calon kepada daerah. Mereka datang untuk silaturahmi, memperkenalkan diri jika belum kenal, dan ujungnya tentu saja meminta dukungan untuk pencalonannya.
Oleh karena itu tentu saja sang bakal calon tidak datang dengan tangan kosong. Setidaknya sekadar bingkisan ringan pastilah dibawa serta untuk sang Kyai. Tanpa harus membaca literatur politik dan buku-buku kepemiluan, kedua belah pihak sudah menyadari, bahwa dalam politik no free lunch, tidak ada makan siang yang gratis. Maka kecil-kecilan praktik transaksi elektoral pun dimulai.
Oh iya, biar utuh dan berimbang penting segera dikemukakan, bahwa praktik yang demikian itu bukan khas Pilkada saja, melainkan juga biasa terjadi di semua jenis pemilihan. Mulai dari Pilpres, Pileg, bahkan juga Pilkades.
Poin penting dari fenomena politik ini adalah, bahwa pesantren, nyaris di sepanjang sejarah elektoral Indonesia, praktis hanya menjadi objek sekaligus target perburuan suara dari orang-orang yang sedang berhajat menjadi pemimpin. Lantas idealnya bagaimana?
Sebagai bagian dari entitas pemilih terdidik dalam politik elektoral, pesantren mestinya diperlakukan atau memperlakukan diri dengan cara yang lebih pantas dan terhormat secara politik. Mereka harus hadir sebagai bagian dari elemen masyarakat sipil yang berkontribusi lebih substantif terhadap penyelenggaraan Pilkada sebagai cara untuk memilih pemimpin daerahnya ketimbang sekadar menjadi "lumbung suara."
Cara yang lebih substantif itu misalnya dengan mengundang semua bakal calon untuk memaparkan ide-ide visionernya, gagasan-gagasan programatik dan solutifnya serta komitmen seriusnya untuk daerah yang bakal dipimpinnya. Kemudian dibedah secara kritis dan dalam suasana diskursif dengan civitas akademika pesantren serta para peserta yang hadir. Jadi, tantang gagasannya, jangan minta uang atau bingkisannya!
Dengan cara demikian, mereka akan memperoleh banyak informasi berharga, peta problematika kedaerahan, sekaligus menyerap aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang ril, otentik dan mendesak. Kira-kira mirip acara "Desak Anies" atau "Tabrak Prof" pada masa kampanye Pilpres 2024 kemarin.
Sarasehan Bersama Bacalon BupatiÂ
Nah, berangkat dari latar belakang pemikiran itulah, Pesantren Nurul Madany berencana menggelar acara Sarasehan dengan mengundang semua bakal calon Bupati/Wakil Bupati Lebak yang berencana maju dalam kontestasi Pilkada nanti. Pesantren ini berlokasi di Desa Sipayung Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak, Banten.
Acara Sarasehan dimaksud diselenggarakan bersama oleh Manajemen Pesantren dengan para alumninya yang tersebar di berbagai kota dan berkiprah di berbagai profesi dan aktivitas dengan mengambil momentum peringatan 25 Tahun pesantren, Minggu 2 Juni 2024.
Sarasehan dengan tema besar "Lebak 2024-2029: Membangun Bersama, Sejahtera Bersama" ini mengundang sebanyak 11 orang bakal calon Bupati/Wakil Bupati Lebak (masih mungkin bertambah jumlahnya) untuk mempresentasikan ide-ide visioner dan gagasan-gagasan programatiknya sebagai bakal calon pemimpin daerah.
Kesebelas bakal kandidat yang diundang adalah: Iip Makmur (Anggota DPRD Banten), Junaedi Ibnu Jarta (Anggota DPRD Lebak), Agil Zulfikar (Ketua DPRD Lebak), Tubagus Imron (Pengusaha), Oong Sahroni (Anggota DPRD Banten), Dede Supriyadi (Pengusaha), Saefudin Asyadzali (Tokoh Masyarakat, Pimpinan Pesantren), Usep Pahlaludin (Ketua APDESI Lebak), Sanuji Pentamerta (Wakil Walikota Cilegon), Hasbi Jayabaya (Anggota DPR RI), dan Dedi Jubaedi (Anggota DPRD Banten).
Dilihat dari latar belakang pekerjaan atau jabatan saat ini, semua figur bakal calon Bupati/Wakil Bupati Lebak itu jelas bisa diandalkan. Tetapi memilih pemimpin tentu tidak cukup hanya dengan mendasarkan pada satu sisi tertentu saja.
Selain pengalaman yang relevan seperti ditunjukan oleh jabatan mereka saat ini, aspek-aspek kualitatif lainnya juga sangat penting diperiksa dan dijadikan basis kriteria. Mulai dari rekam jejak pribadi, kapasitas intelektual, kematangan emosional, integritas, serta potensi besar yang dimilikinya untuk bisa membawa kemajuan bagi daerah.
Membangun Bersama, Sejahtera Bersama
Terkait tema Sarasehan "Membangun Bersama, Sejahtera Bersama." Tema ini dipilih dengan semangat menghidupkan kesadaran multipihak di Lebak perihal hakikat pembangunan berbagai bidang dan arti penting proyeksi dan peruntukannya.
Perlu dikemukakan bahwa selama ini ada kecenderungan pembangunan belum sepenuhnya dirasakan bersama oleh seluruh lapisan masyarakat di berbagai pelosok.
Melalui tema terpilih ini diharapkan para bakal calon Bupati/Wakil Bupati Lebak 2024-2029 siap membangun komitmen dan tekad sejak awal untuk menghadirkan, bukan semata-mata pembangunan. Melainkan pembangunan yang didasarkan pada prinsip, sekaligus diproyeksikan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Di samping itu, dari sisi pendidikan politik, Sarasehan ini juga diharapkan bisa menjadi sarana edukasi demokrasi elektoral. Khususnya untuk para alumni dan santri serta kalangan generasi muda yang diundang dan telah memiliki hak pilih pada Pilkada November 2024 mendatang.
Kepada mereka penting untuk semakin dikampanyekan dan ditanamkan sebagai kesadaran kolektif warga negara, bahwa Pilkada bukan sekadar sarana untuk merotasi kepemimpinan.
Lebih dari itu, Pilkada haruslah menjadi momentum untuk pembaruan dan perbaikan kualitas hidup masyarakat dan kondisi daerah. Membangun bersama, sejahtera bersama!
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2HArtikel terkait: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/664c42d4147093457b56e1e4/hikayat-bandit-dalam-buku-pilkada