Demikianlah, proses transisi menuju demokrasi akhirnya memasuki fase akhir, fase konsolidasi yang disebutnya dengan istilah the habituation phase. Di fase ini terjadi tawar-menawar, kompromi-kompromi antar faksi atau kelompok yang berseteru. Sialnya, dalam banyak kasus pada fase kompromis inilah gejala neo-otoritarianisme kerap menyelinap diam-diam lalu kembali menguasai panggung politik, menggeser demokrasi yang belum sepenuhnya terkonsolidasi.
Paradoks Demokratisasi
Dalam pola dasar yang sama, meski dengan ekspresi kasus yang beragam, transisi demokrasi di Indonesia juga menunjukkan gejala yang tidak jauh berbeda. Pemilu misalnya sebagai salah satu instrumen penting sekaligus penanda paling assertif dari proses demokratisasi, memang telah berhasil digelar dan berlangsung dengan relatif baik.
Kekuatan-kekuatan non-demokratik seperti militer berhasil direposisi pada lokus yang seharusnya. Partisipasi politik rakyat terus meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan, otonomi lokal berhasil diperluas untuk memastikan rakyat di daerah berperan efektif dan determinatif mengurus daerahnya sendiri-sendiri. Ringkasnya, pada bagian-bagian tertentu, demokrasi sudah terkonsolidasi dengan baik.
Akan tetapi di sisi capaian-capaian prestatif itu, sepanjang lebih dari dua dekade pasca orde baru ini sesungguhnya juga terus hadir sejumlah problematika sosio-politik, deretan paradoks yang menyertai perjalanan transisi demokrasi sekaligus potensial dapat merusak capaian-capaian baik yang telah ditorehkan.
Mulai dari fenomena local strongman dan local boss yang menghegemoni kepolitikan lokal di berbagai daerah, gejala shadow state, praktik politik transaksional, politisasi identitas dan polarisasi berbasis primordialisme, serta hasrat memberi ruang kembali pada kekuatan politik non-demokratik (militer). Hingga yang terbaru dan paling riuh diperbincangkan belakangan ini. Yakni gejala bengkitnya politik dinasti di level nasional, hidupnya kembali praktik kolusi, korupsi dan nepotisme, serta dominasi oligarkhi di panggung kekuasaan.
Meski ikhtiar bersama mengonsolidasikan demokrasi sudah berlangsung lebih dari dua dekade, Pemilu 2024 yang baru saja selesai dihelat dan perkembangannya belakangan ini mengisyaratkan bahwa fase transisi demokrasi Indonesia masih akan berlangsung dan menghadapi berbagai kemungkinan terjadinya setback. Kembali ke watak otoritarianisme warisan sejarah rezim orde baru.
Dalam konteks ini berbagai paradoks demokratisasi seperti kooptasi kekuasaan terhadap lembaga hukum dan peradilan, praktik nepotisme, mobilisasi aparatur negara, dan dugaan adanya intervensi terhadap penyelenggara Pemilu yang menyertai proses perhelatan Pemilu 2024 lalu merupakan gejala-gejala indikatif yang jika dibiarkan dapat menjadi faktor perusak demokrasi yang sebetulnya relatif sudah cukup terkonsolidasi sebelumnya.
Politik KartelÂ
Demikian pula kecenderungan makin menguatnya gejala kartelisasi partai politik pasca Pemilu 2024, yang ditandai dengan hasrat besar partai-partai untuk bergabung kedalam pemerintahan baru. Partai politik kartel adalah partai yang memanfaatkan segala sumberdaya negara untuk mempertahankan posisi (zona nyamannya) dalam sistem politik.
Premis dasar dari teori politik kartel adalah bahwa partai-partai sesungguhnya tidak bersaing satu sama lain. Melainkan berkolusi untuk saling melindungi kepentingan kolektif mereka di dalam sistem politik atau dalam konteks tatakelola kekuasaan negara. Berubahnya dengan cepat haluan politik Nasdem dan PKB pasca Pemilu kemarin merupakan salah satu contoh sederhana yang mudah dibaca dan difahami.
Fenomena kartelisasi partai politik ini nampaknya bakal makin marak dan vulgar dalam waktu dekat, yakni ketika proses kandidasi Pilkada dimulai. Dalam proses kandidasi ini nanti partai-partai praktis akan kembali ke "stelan awal," default. Kembali pada watak purbanya, yakni berburu kekuasaan semata-mata untuk terus berkuasa dan selama mungkin menikmati berkah kekuasaan itu sambil diam-diam "mensterilisasi diri" dari semangat menawarkan perubahan di daerah.
Maka fokus mereka dalam pengajuan kandidat-kandidat kepala daerah adalah bagaimana menjadi pemenang atau ikut menjadi bagian dari barisan koalisi yang potensial memenangi kontestasi. Tidak peduli bahwa pada Pemilu kemarin visi dan program mereka saling berseberangan, bahkan secara ideologis berada posisi saling berhadapan.