Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Merawat Demokrasi di Tengah Gejala Partai-Partai "Kembali ke Setelan Awal"

27 Mei 2024   13:12 Diperbarui: 27 Mei 2024   13:12 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mei 2023 lalu buku saya yang kesekian terbit. Judulnya "Jalan Berliku Transisi Demokrasi." Buku ini memuat tulisan-tulisan hasil riset, sebagiannya pernah dipublikasi di jurnal-jurnal ilmiah, dan kumpulan esai (selektif, sesuai kebutuhan topik utama buku) di berbagai media yang terbit antara tahun 2018-2023.

Sebagaimana bisa dibaca dari judulnya, buku ini membahas lika-liku perjalanan demokrasi Indonesia pasca berakhirnya rezim orde baru 1998 silam. Sebuah perjalanan yang tidak mudah dan banyak sekali rintangan problematik yang harus dihadapi dan dicarikan jalan keluarnya.

Tetapi gejala itu memang bukan khas Indonesia. Ia terjadi di hampir semua negara yang mengalami transisi dari fase otoritarianisme ke era demokrasi. Perkembangan demokrasi dalam ruang sejarah transisi perjalanan politik di berbagai negara tidaklah berlangsung dalam pola garis lurus. Melainkan, ibarat sebuah rute perjalanan, ia berliku, bahkan kerap harus melewati jalanan serba terjal yang membahayakan.

Sebagaimana pernah diungkapkan Samuel Huntington di bagian akhir bukunya yang populer, "The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century" (1991). Bahwa selama satu setengah abad setelah pengamatan Tocqueville mengenai munculnya demokrasi modern di Amerika, gelombang-gelombang demokratisasi silih berganti melanda pantai kediktatoran. Disangga oleh pasang naik kemajuan ekonomi, masing-masing gelombang bergerak maju lebih jauh dan mundur lebih sedikit daripada gelombang sebelumnya.

Pemilu Sekadar Alat Legitimasi

Atau seperti yang dijelaskan dalam studi Guillermo O'Donnell, dkk (1986). Bahwa transisi demokrasi, fase peralihan dari era rezim otoriter ke pemerintahan demokratis menyimpan peluang surutnya kembali proses demokratisasi ke bentuk otoritarianisme baru (neo-otoritarianisme) yang disebutnya dengan istilah Democraduras dan Dictablandas.

Gejala Democraduras disematkan O'Donnell pada rezim yang dibentuk dan dihasilkan melalui proses pemilihan umum sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi namun dengan menciptakan alienasi publik dari kekuasaan. Tak pelak lagi, ini merupakan gejala pemerintahan yang buruk karena mengandalkan sarana pemilu sekedar untuk mendapatkan dukungan rakyat.

Demokrasi yang sesungguhnya, yang seharusnya menyertakan rakyat secara inklusif dan partisipatif dalam setiap proses-proses politik tidaklah menjadi prioritas. Gagasan tentang demokrasi deliberatif dari Bessette (1980-an) dan dikembangkan Jurgen Habermas masih sangat jauh panggang dari api. Namun begitu, O'Donnell menganggap Democraduras masih dapat dikategorikan sebagai rezim demokratis.

Fenomena yang lebih buruk dan jauh dari demokratis adalah rezim Dictablandas. Sama dengan rezim Democaduras, rezim Dictablandas juga menggunakan Pemilu sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi rakyat. Namun diselenggarakan dengan pelbagai pembatasan politik, kecurangan-kecurangan terstruktur dan sistemik, serta cacat prosedur disana-sini.

Sementara itu, jauh sebelum O'Donnell dkk memetakan potensi terjadinya rekonsolidasi kekuatan-kekuatan otoritarianisme, Dankwart A. Rustow menggunakan 3 (tiga) diksi menarik dalam menjelaskan proses transisi demokrasi, yakni : battle, stalemate, dan habituation phase. 

Diungkapkan dalam artikel berjudul "Transitions to Democracy: Toward a Dynamic Model" (Jurnal Comparative Politics, April 1970), Rustow menguraikan masa transisi menuju demokrasi yang diwarnai dengan the battle, pertarungan atau perseteruan antara pendukung demokrasi dengan para pembela status quo. Dalam situasi ini, proses demokratisasi berada dalam kegamangan, hingga memicu hadirnya the stalemate (situasi kebuntuan) karena para elit yang berkuasa mengalami kelelahan oleh sebab perseturuan yang tak habis-habis dan berkepanjangan tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun