Mendekati fase-fase penting Pilkada serentak 2024, saya teringat buku yang pernah saya tulis di tahun 2017. Judulnya "Memilih Gubernur, Bukan Bandit: Demokrasi Elektoral dan Pilgub Banten 2017 di Tanah Jawara." Buku ini memuat tiga tema pokok. Bagian pertama mengulas aspek teoritik seputar demokrasi dan demokrasi elektoral di tingkat lokal atau Pilkada Langsung yang sebagiannya pernah dipublish dalam sebuah antologi bersama kolega di beberapa kampus.
Bagian kedua menyajikan kajian seputar praktik Politik Dinasti di Banten yang merupakan bagian dari hasil riset untuk proposal disertasi. Bagian ketiga merupakan kumpulan tulisan di media lokal, yang secara khusus menyoroti dinamika perhelatan Pilgub Banten tahun 2017.
Atas inisiatif kawan-kawan aktifis dan mahasiswa, buku itu sempat dibedah dalam forum di Perpustakaan Saija Adinda Rangkasbitung Lebak. Ada satu pertanyaan dari salah seorang peserta, jurnalis sebuah harian di Banten jika tidak salah, yang sampai sekarang masih saya ingat terus.
"Kang, istilah Bandit di judul buku kayaknya kok kurang pantas yah? Apa gak ada istilah lain yang lebih akademis dan sopan? Terus jika keberadaan Bandit-bandit ini adalah sesuatu yang faktual, bagaimana ke depannya, apakah mereka masih akan mendominasi kehidupan politik termasuk di Banten?"Â
Kira-kira begitulah pertanyaan kawan jurnalis kala itu, yang kemudian menjadi isu paling banyak didiskusikan akhirnya di forum bedah buku. Â
Siapa para "Bandit" itu ?
Agar tidak salah memahami dan menyimpulkan, segera saya kemukakan bahwa istilah "Bandit" lebih merupakan gejala hipotetik atau kecenderungan yang bisa terjadi di daerah manapun. Jadi bukan khas Banten, dan ini didasarkan atas fakta-fakta temuan riset para ahli yang konsen menelaah isu kepolitikan lokal pasca reformasi.
Dalam kamus kita istilah "Bandit" artinya setara dengan penjahat, pencuri; tokoh penjahat dalam cerita drama. Ia adalah arketip atau karakter yang tersemat pada aktor-aktor, baik didalam cerita-cerita fiksi maupun narasi historis, yang memainkan peran-peran jahat seperti merampok, menjarah atau merampas harta kekayaan.
Pada skala yang lebih sadis para bandit bisa juga memerkosa, mencederai bahkan membunuh. Dan dalam konteks sosiologis, yang dimaksud tentu merampok atau menjarah sumber-sumber kekayaan publik; mencederai kepentingan publik atau membunuh harapan-harapan rakyat untuk bisa merasakan kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
 Dalam beberapa dekade terakhir istilah "Bandit" ini populer di kalangan peneliti dan pengkaji isu-isu politik kontemporer di berbagai negara, terutama yang tengah berada pada fase transisi dari otoritarian ke demokrasi. Seperti Indonesia yang mengawali fase transisi sejak tumbangnya orde baru tahun 1998 silam hingga tiga-empat periode pemerintahan setelahnya merujuk pada preseden yang terjadi di sebagian besar negara yang mengalami reformasi.
Perspektif Akademik
Secara akademik, khsusunya di lingkungan kajian politik, kosakata Bandit atau lebih lengkapnya "Roving Banidts" dipopulerkan antara lain oleh McGuire dan Olson (Agustino, Politik Lokal dan Otonomi Daerah, 2014). Konsep ini digunakan untuk menyebut para aktor lokal (subnasional) yang menjadi penguasa di daerah, yang dengan kekuasaannya mereka kemudian menjarah habis sumberdaya lokal untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.