Disebut Roving Bandit (bandit-bandit "kecil") karena muasal mereka sebagai "kaki-tangan" Stationary Bandit (bandit "besar") di era orde baru yang memainkan peran sebagai penjaga kepentingan ekonomi-politiknya di daerah. Di era orde baru silam bandit-bandit kecil ini merupakan orang-orang kuat lokal (local strongmen) dan bos-bos lokal (local bossis) yang memiliki posisi kuat karena relasi patron-client dengan stationary bandits itu.
Ketika bandit besar itu rontok seiring dengan runtuhnya orde baru, mereka bermetamorfosa menjadi bandit-bandit yang mandiri di daerahnya masing-masing. Kemudian dengan memanfaatkan mekanisme demokrasi elektoral (pilkada langsung) dan modalitas kapital sebagian besar dari mereka berhasil menguasai panggung politik di daerahnya, entah langsung atau dengan cara menempatkan sanak familinya dalam jabatan formal kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Arena pilkada langsung yang secara de facto didominasi oleh para pemodal (local bossis, local strongmen) itu, baik yang terjun langsung dalam kontestasi dengan menjadi kandidat atau yang bermain secara kolaboratif dengan kandidat yang dimodalinya (mengendors kandidat tertentu) telah memicu pula lahirnya aktor-aktor politik lokal yang menyerupai (jika tidak sama persis) bandit-bandit itu.
Di tangan kekuasaan formal yang mereka raih melalui proses demokrasi elektoral (Pilkada langsung) itu, kekuasaan pemerintahan daerah jadi mirip korporat keluarga. Diselenggarakan dengan cara-cara keluarga, dan diproyeksikan lebih bagi kepentingan dan keuntungan keluarga.
Dalam pandangan McGuire dan Olson, bandit-bandit lokal ini bukan hanya menjarah habis kawasan yang dikuasainya demi keuntungan dan kekayaan pribadi dan keluarganya. Melainkan juga berupaya mencari kawasan-kawasan baru untuk dijarah melalui kerjasama (kolaborasi, membangun relasi baru patron-client) dengan bandit-bandit sub-lokal lainnya.
Di tangan penguasa lokal bercorak dan bermental bandit inilah publik bisa menyaksikan dengan mata kasat bagaimana penguasaan dan pengerjaan proyek-proyek, baik APBD maupun APBN bernilai milyaran rupiah atau bahkan trilyunan berputar di dalam lingkaran keluarga, kerabat dan kroni para kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Jika pun ada proyek-proyek tertentu yang dikerjakan oleh pelaku usaha di luar lingkaran keluarga dan kroni, biasanya hal ini disertai dengan pungutan atau potongan liar dalam jumlah prosentasi tertentu. Akibatnya bukan saja kesempatan usaha menjadi menyempit bagi para pelaku bisnis di daerah, tetapi juga kualitas dari setiap proyek menjadi rendah.
Mengantisipasi Kembalinya Para Bandits
Kembali ke pertanyaan kawan jurnalis diatas. Jadi, istilah Bandit memang digunakan di lingkungan akademik. Terasa vulgar atau tidak sopan? Mungkin, tetapi silahkan dibandingkan dengan kelakuan politik mereka sebagaimana dijelaskan McGuire dan Olson diatas. Melalui pemanfaatan otoritas formalnya sebagai kepala daerah (bisa Gubernur, Bupati atau Walikota), mereka menjarah sumber-sumber daya lokal untuk kepentingan memerkaya pribadi, keluarga atau kroni-kroni politiknya.
Lantas, apakah gejala serupa itu masih akan terjadi pasca Pilkada serentak 2024? Dimana para kepala daerah terpilih berasal dari keluarga local strongmen dan local bossis yang mewarisi tradisi roving bandits?
Tentu saja tidak ada masyarakat di daerah manapun yang menghendaki demikian. Tetapi jika dicermati, setidaknya di Banten yang saya amati perkembangannya dari waktu ke waktu, gejala ke arah itu masih mungkin terjadi.
Per hari ini misalnya, figur-figur yang sudah muncul sebagai bakal calon kepala daerah sebagian besar berasal dari keluarga yang sejak reformasi menghegemoni kepolitikan lokal Banten. Baik yang berangkat dari Kabupaten dan Kota maupun yang dalam periode-periode sebelumnya sudah berkiprah di level provinsi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!