Bahkan ketika, sebutlah kritik setajam apapun yang mereka lontarkan terhadap pemerintah berkenaan dengan suatu kebijakan misalnya, tidak bisa dikategorikan sebagai "mengganggu."
Kritik, keberatan, dan penolakan atas suatu produk kebijakan pemerintah haruslah difahami sebagai bentuk kontrol. Bukan gangguan.
Dalam kamus kita istilah "kontrol" dimaknai sebagai "pengawasan, pemeriksaan, pengendalian." Dan ini dijamin bukan saja oleh undang-undang, tetapi juga oleh konstitusi dan prinsip-prinsip dasar universal demokrasi.
Dalam konteks kelembagaan parlemen misalnya, baik di pusat maupun daerah, UUD 1945 dengan tegas mengatur soal kontrol atau pengawasan ini. Di dalam Pasal 20A ayat (1) dinormakan dengan jelas, bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Bahkan konstitusi mengatur lebih jauh, bahwa dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Demikian norma konstitusionalitasnya sebagaimana diatur di dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal 20A UUD 1945.
Di luar parlemen, artinya di ruang publik secara umum. Hak setiap individu warga negara untuk menyatakan pendapat, termasuk pendapat yang berbeda dengan jalan pikiran pemerintah juga dijamin oleh konstitusi.
Pasal 28 dengan jelas menormakan jaminan ini. Bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Selain itu, dalam perinsip dan tradisi demokrasi, keberadaan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen sama sekali juga tidak menghilangkan hak setiap warga negara untuk bersama-sama mengontrol penyelenggaraan kekuasaan oleh pemerintah.
Dalam tradisi berdemokrasi, kontrol atau pengawasan terhadap kekuasaan adalah sebuah keniscayaan untuk memastikan pemegang mandat kekuasaan yakni pemerintah tidak sesat pikir dan tidak salah langkah dalam mengelola negara. Dalil klasik Lord Acton cukuplah sebagai rumus aksiomatik, power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan tanpa kontrol alias absolut pasti korupnya.
Jadi, yang dimaksud Prabowo dengan istilah "mengganggu" itu mestinya difahami bukan dalam pengertian "mengontrol, mengawasi." Karena jelas, baik secara semantik maupun secara normatif, mengganggu memang tidak sama artinya dengan mengontrol.Â
Dengan demikian semua pihak bisa sepakat: mengganggu jangan, tapi mengontrol adalah wajib dan sebuah keniscayaan dalam masyarakat dan peradaban berdemokrasi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!