Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Logika Kekuasaan dan Politik Akomodatif dalam Wacana Penambahan Jumlah Kementerian

10 Mei 2024   00:20 Diperbarui: 10 Mei 2024   00:20 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana mengenai penambahan jumlah kementerian pada kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran bukanlah hal aneh, dan sama sekali tidak mengejutkan. Bagi para peminat dinamika kepolitikan nasional, isu ini bahkan sudah dapat diduga jauh sebelum puncak perhelatan Pilpres 2024.

Tanda-tandanya mudah dibaca. Mulai dari struktur tambun koalisi yang dibangun Prabowo-Gibran, keterlibatan berbagai faksi politik elektoral didalam proses pemenangan Prabowo-Gibran, hingga ke manuver sejumlah elit partai politik pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

Makna dari semua tanda-tanda fenomenologis itu adalah bahwa Prabowo sebagai pemegang hak prerogatif penyusunan kabinet pemerintahan nampaknya memang sudah siap dengan resiko politik yang harus diambilnya kelak setelah resmi dilantik dan diambil sumpah jabatannya 20 Oktober mendatang.

Resiko politik yang dimaksud adalah mengakomodir faksi-faksi baik yang bersifat pribadi (misalnya Presiden Jokowi dan tokoh masyarakat atau intelektual berpengaruh) maupun kelompok (partai-partai anggota koalisi, relawan, bahkan juga representasi organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah) kedalam barisan pemerintahannya.

"No free lunch". Tidak ada makan siang yang gratis. Begitu dalil yang pernah diucapkan Milton Friedman yang berlaku dalam kehidupan keseharian. Terlebih di dunia politik yang semakin berwatak transaksional serta didukung oleh situasi politik yang memaksa kubu pemenang Pemilu yang berhak memerintah harus memperkuat bangunan koalisi pendukung pemerintahannya.

Norma Perundangan vs Logika Kekuasaan

Diatas sudah disinggung bahwa penyusunan kabinet pemerintahan merupakan hak prerogatif Presiden. Hak prerogatif merupakan kekuasaan atau hak yang dimiliki oleh kepala negara (dalam hal ini presiden) yang bersifat istimewa, mandiri, dan mutlak yang diberikan oleh konstitusi dalam lingkup kekuasaan pemerintahan. Bentuk-bentuk hak prerogatif Presiden ini lazimnya diatur dialam konstitusi.

Hak prerogatif Presiden terkait penyusunan kabinet pemerintahan didalam UUD 1945 diatur di dalam Pasal 17. Bahwa "Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri serta membentuk, mengubah dan membubarkan kementerian negara yang diatur di dalam undang-undang." 

Namun demikian, meski di tangan kewenangannya ada hak prerogatif, dalam menyusun kabinet pemerintahannya Presiden tetap diatur dan dibatasi oleh undang-undang. Jadi tidak bisa suka-suka atau semata-mata hanya didasarkan pada keinginan dan kepentingan pribadi semata dan/atau titipan faksi-faksi politik di tubuh koalisinya.     

Di dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, pengaturan dan pembatasan itu misalnya menyangkut jumlah kementerian yang dibentuk serta pertimbangan-pertimbangan suatu kementerian dibentuk. Terkait jumalah kementerian, UU ini menentukan paling banyak 34 kementerian (Pasal 15).

Sementara terkait pertimbangan yang harus menjadi dasar Presiden dalam pembentukan kementerian diatur didalam Pasal 13, sekurang-kurangnya meliputi aspe-aspek efisiensi dan efektivitas; cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas; kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau perkembangan lingkungan global.

Dengan merujuk pada norma tersebut maka wacana penambahan jumlah kementerian tentu harus diukur berdasarkan beberapa pertimbangan tadi. Dan ini idealnya dilakukan kajian terlebih dahulu oleh tim yang melibatkan unsur-unsur kepakaran yang relevan dan independen. Tidak hanya didasarkan semata-mata pada pertimbangan untuk mengakomodir faksi-faksi politik kepentingan di dalam koalisi.

Tetapi semua orang bisa menduga, bahwa logika kekuasaan (politik kepentingan) nampaknya akan lebih dipertimbangkan daripada kebutuhan ril, urgensi dan relevansinya dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan program-program pembangunan, dan pelayanan publik.

Politik Akomodatif

Jika hipotesa itu terkonfirmasi nanti, maka untuk kesekian kalinya kita akan menyaksikan kembali praktik politik akomodatif mewarnai perjalanan bangsa ini dalam lima tahun kedepan. Seperti kita tahu politik akomodatif ini sudah berlangsung di sepanjang pemerintahan SBY dan Jokowi.

Politik akomodatif, yang dalam praktiknya yang paling sederhana adalah merangkul lawan-lawan politik yang berseberangan dan/atau kelompok-kelompok masyarakat yang potensial bisa "mengganggu" dengan cara memberinya jabatan atau kedudukan strategis dalam pemerintahan (termasuk lingkungan BUMN), sejatinya dapat mengakibatkan kemerosotan demokrasi.

Karena dengan mengintegrasikan berbagai elemen kekuatan dalam masyarakat, sikap kritis dan kontrol publik atas kekuasaan akan melemah. Fungsi-fungsi oposisional yang dibutuhkan untuk menjaga dan menghidupkan nalar kritis publik, efektifitas kontrol rakyat terhadap kekuasaan, sekaligus menciptakan keseimbangan politik dalam tradisi demokrasi cepat atau lambat akan mati.

Selain itu, politik akomodatif sesungguhnya juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap kesetiaan menjaga mandat yang diberikan rakyat kepada Paslon Presiden-Wapres terpilih. Terlebih lagi jika dalam praktiknya politik akomodatif ini benar-benar menegasikan fakta-fakta bahwa pada saat kontestasi Pilpres sebagai ajang kontestasi gagasan terdapat perbedaan mendasar menyangkut visi, misi dan program dari masing-masing kandidat.

Dengan mengakomodasikan seluruh elemen termasuk yang memiliki pandangan politik yang berbeda secara tajam kedalam satu barisan pemerintah maka kontestasi gagasan ketika Pilpres digelar menjadi kehilangan makna. Pun demikian halnya dengan pilihan sadar masyarakat terutama yang telah memberikan mandat politiknya kepada Paslon terpilih karena pertimbangan rasional dan tulus mereka menjadi percuma.

Maka tidak perlu kaget jika kemudian muncul sinisme di tengah masyarakat, "Jika akhirnya semua gabung didalam pemerintah, ngapain mesti ada Pilpres. Kita disuruh bertengkar habis-habisan, mereka yang menikmati bersama hasil pertengkaran kita."


Artikel terkait: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/663b6d5fde948f5839790bf2/menelisik-ulang-pilkada-langsung-3-revivalisme-politik-dinasti-roving-bandits-dan-shadow-state

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun