Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Membaca Kembali Plus-Minus Pilkada Serentak

4 Mei 2024   11:50 Diperbarui: 6 Mei 2024   07:53 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dengan isu mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan PHPU Pilpres 2024 lalu yang mendapat perhatian luas masyarakat, agenda seputar Pilkada relatif agak sepi.

Kecuali di kalangan (yang masih) terbatas, yakni di internal partai politik dan elit-elit lokal (dan bakal tim suksesnya) yang sudah sejak lama memang mempersiapkan diri untuk maju ke arena kontestasi nanti.

Begitulah memang dampak keserentakan penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan (Pilkada). Ada bagian-bagian penting perhelatan elektoral yang kemudian luput dari perhatian masyarakat.

Seperti pada Pemilu serentak yang baru saja tuntas. Publik cenderung hanya fokus pada agenda Pilpres, dan agak melupakan rangkaian agenda Pilegnya, baik untuk DPR dan DPD RI maupun untuk DPRD baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota.

Situasi tak seimbangnya perhatian publik ini hingga sekarang bahkan masih terus berlanjut. Bahwa ratusan permohonan gugatan PHPU Pileg 2024 yang sekarang sudah mulai running pemeriksaan dokumennya oleh MK cenderung sepi dari perhatian publik. Kecuali lagi-lagi di kalangan terbatas: internal partai, antar caleg dan antar partai politik.

Kembali ke isu Pemilihan atau Pilkada. Sekira satu bulan lalu, KPU RI sudah melaunching hajat demokrasi lokal ini. Tepatnya tanggal 31 Maret 2024 di pelataran Candi Prambanan, Yogyakarta. Pada launching itu telah diumumkan bahwa hari dan tanggal pemungutan suara Pilkada bakal digelar pada hari Rabu, 27 November 2024.

Dasar penetapan hari dan tanggal pencoblosan itu adalah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024.

Sebagaimana diketahui, Pilkada serentak 2024 ini merupakan kali pertama dalam sejarah demokrasi elektoral di tingkat lokal.

Berdasarkan data di Kemendagri yang juga sudah dirilis oleh KPU, Pilkada serentak 2024 ini bakal diikuti oleh 545 daerah. Meliputi: 37 Provinsi (minus DIY Yogyakarta), 415 Kabupaten dan 93 Kota se Indonesia. Sebuah perhelatan elektoral, hajat demokrasi lokal yang luar biasa.

Problematika Penyerentakan Pilkada

Di atas telah disinggung, bahwa penyerentakan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada telah berdampak pada ketidakseimbangan perhatian masyarakat sebagai pemilih. Padahal aspek ini penting. Bukan semata-mata sebagai perwujudan partisipasi yang utuh. Melainkan juga penting sebagai bentuk pengawalan dan pengawasan bersama atas rangkaian proses pelaksanaannya.

Dalam kasus Pemilu yang baru saja selesai dihelat, yang menyerentakan Pileg dan Pilpres tadi misalnya. Masyarakat cenderung hanya fokus pada Pilpres, dan mengabaikan Pilegnya.

Dalam situasi minus-kontrol seperti ini berbagai potensi kecurangan bahkan kejahatan elektoral sebetulnya menjadi terbuka dan leluasa. Baik pada tahapan pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara hingga ke tahapan penetapan hasil dan calon-calon terpilih.

Potensi yang kurang lebih sama juga bisa terjadi dalam konteks rangkaian proses Pilkada. Kemudian selain menyangkut soal tidak cukup fokusnya perhatian pemilih dan pengawasan yang bisa jadi kurang maksimal, penyelenggaraan Pilkadsa serentak 2024 ini juga mengandung sedikitnya dua potensi problematika lain.

Pertama, dilakukannya penunjukan banyak Penjabat Kepala Daerah yang relatif lama, hingga ada yang dua tahun. Fakta ini mengurangi esensi demokrasi dalam kepemimpinan lokal karena Kepala Daerah ditunjuk, dan bukan hasil pemilihan oleh rakyat. Selain itu fenomena ini juga bisa memicu ketidaknetralan para Kepala Daerah yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dalam pelaksanaan Pilkada.

Kedua, jika terjadi konflik yang terjadi atau meluas di berbagai daerah yang tidak cukup tercover dari sisi penanganannya oleh aparat keamanan dapat memicu instabilitas poitik-keamanan nasional. Kedua potensi ini tentu penting menjadi perhatian para pihak.

www.rri.co.id
www.rri.co.id

Mengapa Serentak?

Khusus mengenai Pilkada, mengapa DPR dan pemerintah menyepakati penyelenggaraan Pilkada diserentakan secara nasional antara Pilgub dengan Pilbup dan Pilwalkot? Bahkan juga dilakukan (secara serentak) dalam tahun yang sama dengan Pileg dan Pilpres?

Berdasarkan penelusuran jejak digital seputar latar belakang pemikiran penyerentakan Pemilu dan Pilkada dari para ahli dan pegiat Pemilu, serta DPR dan pemerintah, setidaknya ada tiga alasan strategis mengapa Pilkada digelar secara serentak.

Pertama, penyerentakan Pilkada dengan Pemilu nasional di tahun yang sama dan dalam jeda waktu yang relatif berdekatan dimaksudkan untuk penyesuaian atau penyelarasan periodisasi masa jabatan Kepala Daerah dengan Presiden-Wapres terpilih. Hal ini penting karena berkaitan dengan perencanaan program pembangunan baik jangka pendek, menengah maupun panjang.

Dengan jarak dimulainya perode pemeritahan (pusat dan daerah) yang berdekatan akan memudahkan proses sekaligus mengefektikan penyusunan perencanaan program pembangunan, terutama berkenaan dengan pentingnya menciptakan harmonisasi dan koherensi antara visi-misi dan program-program pembangunan nasional dengan daerah.

Kedua, penyerentakan Pilkada antara Pilgub dengan Pilbup dan Pilwalkot akan menghemat anggaran pelaksanaan. Sekadar contoh misalnya, honorarium badan adhoc Pilkada (PPK PPS, KPPS) dan anggaran operasional (rapat-rapat, bimbingan teknis dll) cukup disiapkan satu kali untuk pelaksanaan dua proses pemilihan, yakni Pilgub dengan Pilbup atau Pilwalkot.

Jika Pilkada dipisah dalam waktu yang berbeda, maka anggaran honorarium dan operasional itu tentu harus disiapkan duakali untuk dua proses pemilihan lokal yang berbeda.

Penghematan ini juga bisa berlaku dalam biaya sosialisasi oleh KPU daerah sebagai penyelenggara. Baik dalam bentuk kegiatan maupun pengadaan berbagai alat peraga sosialisasi (baliho, spanduk, poster, dll).

Ketiga, penyerentakan Pilkada baik dengan Pemilu nasional meski dalam waktu yang berbeda maupun antara Pilgub dengan Pilbup dan Pilwalkot akan mengurangi potensi kejenuhan politik elektoral dalam masyarakat. Baik berkenaan dengan tahapan-tahapan pra-pencoblosan seperti pencalonan, sosialisasi dan kampanye maupun terkait dengan keharusan datang ke TPS untuk memberikan suara.

Kita tahu, sebelum dilakukan secara serentak (Pemilu nasional dan Pilkada) misalnya, masyarakat harus datang ke TPS dan memilih sebanyak 4 kali dalam setiap lima tahun (satu periode masa jabatan pemerintahan). Yakni Pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPR, Pemilu Presiden-Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur, dan Pemilihan Bupati atau Walikota.

Bahkan menjadi lima kali dalam setiap lima tahun jika Pemilihan Kepala Desa (PIlkades) disertakan dalam hitungan. Dengan penyerentakan seperti dimulai tahun 2024 ini, masyarakat cukup datang dua kali. Yakni pada Pemilu nasional (Pileg dan Pilpres) dan Pilkada (Pilgub dan Pilbup atau Pilwalkot).

Terakhir, dengan penyerentakan Pilkada baik dengan Pemilu nasional maupun antara Pilgub dengan Pilbup atau Pilwalkot, berbagai potensi negatif dari perhelatan demokrasi elektoral juga bisa dikurangi.

Misalnya potensi konflik horisontal dan polarisasi (pembelahan) dalam masyarakat serta rentetan kegaduhannya yang dipicu oleh ketidakpuasan yang berulang atas hasil Pemilu dan Pemilihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun