Pesan Simbolik “Dewi Keadilan”
Selanjutnya Megawati menyitir makna filosofis patung “Dewi Keadilan” sebagai simbol universal hukum.
Pertama, mata Sang Dewi yang tertutup, menutup pandangan di depan dan hanya menghadirkan kegelapan. Makna filosofisnya bahwa dengan mata tertutup maka pada setiap hakim harus terjadi dialog dengan hati nuraninya masing-masing, lalu memutus perkara dengan tidak membedakan siapa yang berbuat.
Kedua, sebelah tangan Sang Dewi mengangkat timbangan yang seimbang. Makna filosofisnya bahwa hukum tidak pernah memihak, setiap perbuatan akan ditimbang berat ringannya secara obyektif sebelum putusan dijatuhkan. Megawati memaknai fenomena ini sebagai cermin keadilan substantif.
Ketiga, sebelah tangan lain Sang Dewi memgang pedang dalam posisi diturunkan ke bawah. Simbol ini mengandung makna filosofis bahwa hukum bukan alat untuk membunuh. Pedang terhunus menjulur ke bawah ini diperlukan sebagai ultimum remedium (obat terakhir), dan bukan premium remedium (pencagahan awal). Megawati memaknainya bahwa hukum harus didasarkan pada norma, etika, kesadaran hukum, dan tertib hukum serta keteladanan para aparat penegak hukum.
Dalam dokumen Amicus Curiae yang diserahkan hari ini, Megawati juga melengkapinya dengan secarik kertas bertulisakan tangan:
“Rakyat Indonesia yang tercinta marilah kita berdoa semoga ketuk palu MK bukan merupakan palu godam, melainkan palu emas, seperti kata Ibu Kartini pada tahun 1911 habis gelap terbitlah terang sehingga fajar demokrasi yang telah kita perjuangkan dari dulu timbul kembali dan akan diingat terus menerus oleh generasi bangsa Indonesia. Amin ya rabbal alamin. Hormat saya, Megawati Soekarnoputri di tandatangani, merdeka, merdeka, merdeka,"
Tanggungjawab Etik Presiden
Pada bagian lain suratnya, dengan merujuk keterangan Romo Magnis (sebagai ahli dalam sidang gugatan PHPU di MK) bahwa telah terjadi pelanggaran etik serius dalam penyelenggaraan Pilpres, Megawati juga menyinggung soal tanggungjawab etika seorang Presiden.
Dalam pandangan Megawati, Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat besar. Karena itulah penguasa eksekutif tertinggi tersebut dituntut standar dan tanggung jawab etikanya agar kewibawaan negara hukum tercipta.