Dari beberapa sumber yang dapat ditelusuri, didalam berkas amicus brief yang diajukan 303 orang guru besar dan masyarakat sipil tersebut poin ringkasan sebagai isu utama  berkaitan dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang terus menuai kontroversi itu.  Amicus curiae menilai penetapan Calon Wakil Presiden Pasangan Calon Nomor Urut 2, Gibran Rakabuming adalah keliru. Putusan ini salah dimaknai KPU karena merupakan putusan pluralitas.
Putusan pluralitas merupakan putusan yang diambil tanpa adanya suara mayoritas karena terdapatnya perbedaan dalam pertimbangan hukum dan/atau amar putusan. Dalam hal terdapat putusan pluralitas, pendirian Mahkamah Konstitusi harus dilihat dalam pertimbangan hukum dan/atau amar putusan yang disetujui oleh mayoritas hakim dalam lingkup yang paling sempit (the narrowest ground rule).
Dengan mengacu pada aturan tersebut, Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 seharusnya dimaknai bahwa perluasan jabatan yang secara implisit disetujui oleh mayoritas anggota majelis baik pluralitas dan concurring adalah gubernur saja. Dengan kata lain, seharusnya KPU sedari awal tidak menetapkan Calon Wakil Presiden Pasangan Calon Nomor Urut 2 yang ketika tahap pencalonan masih berstatus sebagai walikota.
Mengingat preseden Mahkamah Konstitusi sebelumnya dalam Perkara Nomor 132/PHP.BUP-XIX/2021 dan 135/PHP.BUP-XIX/2021 yang memutus diskualifikasi pasangan calon karena tidak dipenuhinya kualifikasi dalam tahap pencalonan, serta Putusan Nomor 55/PUUXVII/2019 dan Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 yang menegaskan masuknya pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagai bagian dari rezim Pemilu.
"Maka seharusnya Mahkamah Konstitusi dapat mendiskualifikasi Pasangan Calon Nomor Urut 2 sebagai konsekuensi atas tidak terpenuhinya kualifikasi sebagai Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2," tulis amicus curiae dalam berkas tersebut.
Kepada media, Prof. Sulistyowati Irianto (Guru Besar FHUI) mengungkapkan harapan para guru besar dan masyarakat sipil yang tergabung dalam amicus curiae agar MK memberikan keadilan substantif dalam memutus perkara PHPU Pilpres. Bukan hanya keadilan prosedural formal atau keadilan angka-angka. Yakni dengan melihat perkara secara holistik, mempertimbangkan aspek proses penyelenggaraan Pilpres secara kritis karena hasil tergantung pada prosesnya.
Potensi Mempengaruhi Putusan Â
Amicus Curiae ini penting baik dilihat dari perspektif praktik negara hukum maupun dalam kerangka berdemokrasi. Dalam konteks negara hukum amicus curiae penting sebagai upaya untuk menemukan sekaligus mengartikulasikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat terkait isu-isu strategis kenegaraan, yang mungkin saja luput dari perhatian para hakim.
Melalui pokok-pokok pikiran hukum yang dituangkan dalam amicus breaf, nilai-nilai dan rasa keadilan publik itu dapat disertakan dalam pertimbangan para hakim ketika membahas dan memutus perkara yang sedang disidangkan.
Sementara itu dilihat dari sisi praktik berdemokrasi, amicus curiae merupakan bentuk partisipasi publik yang bermakna sekaligus berkeadaban (ditempuh melalui koridor dan mekanisme hukum) dalam menyikapi isu-isu strategis kenegaraan. Pokok-pokok pikiran yang diartikulasikan dalam dokumen amicus breaf dapat dianggap merepresentasikan suara-suara publik yang oleh sebab hambatan-hambatan teknis tidak dapat diekspresikan secara efektif.
Lantas bagaimana potensi pengaruh amicus curiae yang diajukan para guru besar dan masyarakat sipil itu terhadap putusan MK terkait perkara PHPU Pilpres 2024? Hemat saya potensi pengaruh ini cukup terbuka, paling tidak khusus terkait isu utama tadi yakni perihal keabsahan pencalonan Gibran sebagai Cawapres yang dinilai tidak memenuhi kualifikasi. Berikut ini argumen yang mendasarinya.