Dalam perspektif Syariat, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan seluruh perkara yang membatalkan puasa dengan niat beribadah kepada Allah, sejak terbit fajar kedua hingga terbenamnya matahari. Demikian ijma (kesepakatan) para Ulama mengenai definisi terminologis ibadah puasa seperti bisa dibaca antara lain dalam At-Ta'rifat (Ali Al-Jurjani) dan Al-Ijma' (Ibnu Abdil Barr).
Jadi cukup dengan menyatakan niyat puasa di dalam hati, tidak makan dan minum serta tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan puasa seperti bersenggama dengan istri/suami, dan dilakukan sepanjang hari sejak fajar terbit hingga matahari tenggelam. Maka seorang Muslim/Muslimah selesai menunaikan salah satu kewajiban syar'i-nya, dan berhak memperoleh pahala sebagai imbalan ibadah shaumnya.
Tetapi dalam sudut pandang Tasawuf, frasa "menahan diri" bukan saja dalam pengertian menahan diri dari makan, minum dan syahwat biologis. Melainkan juga menahan diri dari hawa nafsu destruktif yang potensial memicu terjadinya segala perbuatan maksiat. Bisa melalui instrumen inderawi, bisikan hati nurani maupun percikan pemikiran.
Dalam kerangka sufistik itulah, Imam Al Ghozali merumuskan tiga kategori tingkatan puasa didalam magnum opusnya, Ihya 'Ulumididin.
"Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan: Puasa Umum, Puasa Khusus, dan Puasa Paling Khusus. Yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir."Â
Dimana Level Puasa Kita?
Kira-kira dimanakah posisi puasa kita dalam perspektif Al Ghozaly? Mayoritas mungkin masih berada pada tingkatan paling dasar. Yakni puasanya orang-orang umum (awam). Puasa yang baru sampai pada level menahan diri dari haus, lapar dan syahwat primitif sebagai manusia.
Puasa kita belum sampai pada level manajemen diri yang dapat mengontrol dengan tegas keliaran inderawi merangsek masuk ke area-area dimana perbuatan maksiat biasa terjadi. Mengghibah sesama, menggunjing kolega, mencaci maki lawan politik, mendengarkan omong kosong unfaedah, dan tanpa sadar saling memotivasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan negatif dan destruktif. Inilah wajah levelitas puasa kita.
Puasa kita juga belum sampai pada level kemampuan menundukan hati dan pikiran dari deretan potensi kemaksiatan berupa bisikan atau gagasan-gagasan yang tak sehat. Baik berkenaan dengan soal-soal private maupun perkara-perkara sosial-kemasyarakatan. Puasa kita belum steril dari godaan gejala-gejala serupa ini.
Ringkasnya, kita masih berada pada level paling rendah ibadah puasa menurut Imam Al Ghozaly, yakni shaumul umum. Dan masih harus berjuang untuk sampai pada level dua, shaumul khusus. Apalagi level pertama, shaumnya para Nabi, Sahabat dan Waliyullah.