Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Memahami Syariat dan Fiqih Puasa (2): Rukun, Pembatal dan Adab Puasa

6 Maret 2024   13:15 Diperbarui: 12 Maret 2024   14:03 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada bagian pertama artikel ini telah dijelaskan pentingnya (urgensi) memahami ilmu seputar Ramadan, khususnya terkait dasar-dasar Syariat dan Fiqih puasa. Yakni agar setiap jenis ibadah yang dilakukan benar menurut kaidah-kaidah Syar'i. Karena semua amalan ibadah tanpa dasar ilmu yang benar akan tertolak.

"Wa Kullu Man Bighairi Ilmin Ya'malu A'maluhu Mardudatun Latuqbalu." Barang siapa yang beramal tanpa ilmu maka amalnya akan ditolak. Demikian premis Syar'i yang dikemukakan oleh Ahmad Ibnu Ruslan Asy Syafi'iy di dalam karyanya, Matan Zubad Fi Ilmil Fiqhi. 

 

Pada artikel sambungannya ini masih akan dijelaskan beberapa aspek Syariat dan Fiqih puasa lainnya yang perlu difahami agar ibadah puasa kita benar secara hukum dan maqbul. Dengan demikian kita bisa berharap limpahan pahala dari Allah SWT sekaligus efek (energi) positif dari puasa yang kita lakukan, baik secara pribadi maupun sosial.

Niyat sebagai Rukun Puasa  

Di dalam kaidah Islam semua amalan ibadah mahdhoh wajib diawali dengan niyat. Demikian halnya dengan puasa sebagai salah satu bentuk ibadah mahdhoh selain sholat, zakat dan berhaji. Niyat adalah keinginan dan tujuan (Al-qashdu) yang dinyatakan di dalam hati. Niyat Puasa berarti keinginan dan tujuan untuk melaksanakan puasa, yang dinyatakan di dalam hati dan dilakukan pada malam hari hingga sebelum terbitnya fajar.

Dalil umum tentang niyat merujuk pada hadits Nabi SAW: "Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya." (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim). Sedangkan dalil khususnya terdapat di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan antara lain oleh Imam Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, bahwa :

"Barang siapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya."

Niyat puasa merupakan salah satu dari dua Rukun (azas, sendi) Puasa. Rukun puasa yang kedua adalah menahan diri dari segala perbuatan atau perkara yang dapat membatalkan puasa dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Kaidah ini didasarkan pada Al Quran Surat Al Baqoroh ayat 187: 

"...dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam."

Delapan Pembatal Puasa dan Konsekuensi Hukumnya

Terkait perbuatan atau perkara yang dapat membatalkan puasa, para ahli fiqih berbeda pendapat dalam beberapa detail, tetapi sepakat dalam semua pokok atau jenis perbuatan/perkara yang dapat menyebabkan batalnya puasa. Berikut ini adalah jenis-jenis perbuatan/perkara yang disepakati para ahli fiqih sebagai pembatal-pembatal puasa dan ulasan ringkas mengenai konsekuensi hukumnya.

Pertama, makan dan minum dengan sengaja dan dalam keadaan sadar bahwa ia sedang berpuasa. Kedua, muntah yang disengaja, misalnya dengan cara memasukan jari ke rongga mulut atau sengaja mencium bau yang dapat memicu mual lalu muntah. Ketiga, menggunakan sesuatu yang secara fungsional setara dengan makan dan/atau minum, misalnya meroko atau infus. Keempat, niyat berbuka puasa, meski berbukanya belum dilakukan, niyat berbuka itu sudah masuk dalam kategori membatalkan puasa.

Kelima, haid atau menstruasi (keluarnya darah alami dan berkala dari kelamin perempuan) dan nifas (keluarnya darah dari kelamin perempuan bersamaan dengan atau setelah proses persalinan). Keenam, keluarnya air mani (sperma) yang disengaja, misalnya dengan cara onani atau "kontak fisik" dengan istri yang mengakibatkan keluarnya sperma. Ketujuh, bersenggama dengan istri. Kedelapan, murtad atau keluar meninggalkan agama Islam.

Konsekuensi hukum dari semua pembatal puasa itu bermacam-macam. Ada yang hanya diwajibkan Qodlo (mengganti) puasa pada hari yang lain. Ada yang wajib mengganti puasanya sekaligus membayar Fidyah atau Kaffarat. Ada yang bersifat opsional antara qodlo atau bayar fidyah atau kaffarat. Seperti sudah disinggung di depan, pada wilayah detail ini para Ulama ahli fiqih berbeda pendapat.

Fidyah dan Kaffarat adalah membayar denda (dengan takaran tertentu sesuai yang disyariatkan) sebagai tebusan atas puasa yang ditinggalkan karena berbagai alasan seperti diuraikan diatas. Beda keduanya adalah sebagai berikut.

Fidyah merupakan denda/tebusan yang wajib ditunaikan oleh orang-orang yang batal/membatalkan puasa Ramadhan karena alasan yang dibenarkan secara syar'i. Misalnya karena sakit kronis, usia lanjut, hamil, menyusui, atau bepergian jauh (musafir).

Sedangkan Kaffarat merupakan denda/tebusan yang wajib dilaksanakan oleh orang-orang yang sengaja melanggar larangan dan membatalkan puasanya tanpa alasan yang dibenarkan secara syar'i. Misalnya makan dan minum dengan sengaja, onani/masturbasi, atau berhubungan suami istri di siang hari.

Adab-adab Puasa

Puasa Ramadan adalah ibadah yang istimewa. Kistimewaan ibadah puasa ini antara lain dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam salah satu hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Bahwa :

"Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya."

 

Keistimewaan lainnya seperti telah disinggung para artikel terdahulu adalah, bahwa ibadah puasa dan semua amalan ibadah di sepanjang bulan Ramadan pahalanya dilipatgandakan, bahkan tanpa batas oleh Allah. Dari dimensi psiko-sosial ibadah puasa juga dapat membentuk karakter positif pribadi seorang Muslim/Muslimah.  

Tetapi tentu saja, semua keistimewaan itu hanya bisa diraih manakala puasa seseorang dijalani dengan benar sesuai syariat dan kaidah-kaidah fiqihnya, dilakukan dengan ikhlas dan sabar, serta diniyatkan semata-mata untuk memperoleh ridho Allah SWT.

Kemudian untuk menyempurnakan atau lebih tepatnya memaksimalkan capaian kualitas ibadah puasa, penting pula diketahui, difahami dan diamalkan berbagai adab (etiket) selama menjalankan ibadah puasa. Beberapa diantara adab puasa ini adalah sebagai berikut.

Pertama, menyegarakan berbuka puasa sesuai ketentuan waktu berbuka. Adab ini didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim, bahwa "Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa."

Terkait buka puasa itu sunnah-sunnah yang dilakukan oleh Nabi SAW antara lain membaca doa berbuka puasa, yang paling mashur: "Dzahaba Dhomaa'u wab Talatil 'Uruuqu wa Tsabatal Ajru InsyaAllah". Artinya : "Telang hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan dan mendapat pahala insya Allah." Selain itu Rasulullah biasa mengawali buka puasa dengan kurma atau minum air jika tidak ada kurma. Dan kebiasaan lain beliau adalah memberi makan minum orang yang berpuasa.

Kedua, melaksanakan Sholat Tarawih. Dalam sebuah Hadits dikatakan, "Barang siapa yang mengerjakan shalat malam di bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu." (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim).

Ketiga, makan Sahur pada malam hari. Meski hukumnya tidak wajib, makan sahur sangat dianjurkan oleh Rasulullah, karena mengandung keberkahan. Sebagaimana Hadits ini, "Makan sahur itu penuh berkah. Maka janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur." (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).

Keempat, menghindarkan diri dari perbuatan sia-sia dan/atau perkataan kotor. Di dalam salah satu Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim, Rasulullah mengingatkan, "Puasa adalah perisai. Maka janganlah berkata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada yang memerangimu atau mencelamu, maka katakanlah: 'Aku sedang puasa, aku sedang puasa."

 

Kelima, meningkatkan kualitas dan kuantitas sodaqoh, dan ini selaras dengan Ramadan sebagai bulan empati dan kepedulian sosial. Sebuah testimoni Ibnu Abbas menjadi salah satu landasan adab ini. Bahwa "Rasulullah adalah manusia yang paling dermawan. Dan Beliau sangat dermawan jika bulan Ramadhan." (Ibnu Qoyyim, Al-Wabil ash-Shayyib wa Rafi'ul Kalim ath-Thayyib).

Keenam, membaca, memahami dan mentadaburi (merenungkan) Al Quran. Bulan Ramadan adalah bulan dimana Al Quran untuk pertama kalinya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. (InsyaAllah akan diulas dalam artikel tersendiri bertema Nuzulul Qur'an.) Terkait adab puasa ini, Rasulullah bersabda :

"Barang siapa membaca satu huruf al-Qur'an, maka baginya satu kebaikan, setiap satu kebaikan dilipatgandakan hingga sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miim satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu hu-ruf, dan Miim satu huruf." (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim).

Ketujuh, adab puasa yang terakhir sebagai penyempurna ibadah-ibadah di bulan berkah Ramadan adalah memperbanyak berdoa kepada Allah SWT dalam berbagai kesempatan terutama setiap ba'da Sholat. Terkait hal ini Rasulullah bersabda: "Tiga do'a yang tidak tertolak, yakni do'a orang tua, do'a orang yang puasa dan do'a orang musafir."

Wallahu'alam bi Showab. Semoga manfaat.

Dan jika berkenan, sila dikunjungi artikel Bagian 1: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/65e687f814709352397f5583/memahami-syariat-dan-fiqih-puasa-sebelum-ramadan-tiba-bagian-1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun