Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Polarisasi, Konflik Pemilu, dan Langkah Pencegahan Eskalasinya

1 Maret 2024   09:21 Diperbarui: 4 Maret 2024   09:41 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti diperkirakan banyak ahli dan pengamat saat tahapan baru dimulai pertengahan 2022 silam, Pemilu 2024 akhirnya memang kembali melahirkan polarisasi di dalam masyarakat. Hanya saja faktor pemicunya berbeda. Pemilu 2019 polarisasi dipicu oleh politisasi identitas yang sangat tajam, non-elektoral sifatnya (studi ini bisa dibaca di laman Jurnal KPU).

Kini polarisasi dipicu oleh perilaku politik Presiden yang dinilai telah bertindak tidak netral dalam Pemilu. Karena secara vulgar kerap mempertontonkan keberpihakan dan dukungannya terhadap Paslon Prabow-Gibran. Baik melalui kebijakan pemerintah yang dipimpinnya maupun melalui manuver-manuver politik yang dilakukan bersama para pembantu dekatnya di kabinet dan aparat pemerintah.

Masyarakat kini terbelah ke dalam dua kubu. Yakni kubu pendukung hasil Pemilu yang dalam hitungan sementara dimenangi Prabowo-Gibran dan kubu yang menilai hasil Pemilu cacat karena diwarnai banyak kecurangan yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Kubu pertama jelas para pendukung Prabowo-Gibran. Sementara kubu kedua adalah para pendukung Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud, dan masyarakat sipil yang tidak terafiliasi secara elektoral dengan Paslon manapun.

Memasuki bulan Maret ini polarisasi itu potensial mengejewantah dalam bentuk gerakan dan kontra-gerakan, aksi dan kontra-aksi di lapangan. Mengingat pada bulan Maret inilah KPU RI menjadwalkan penetapan hasil Pemilu. Hari pertama rekapitulasi nasional sudah dimulai 28 Februari lalu, dan berlangsung alot karena banyaknya kritik dari peserta Pemilu. Sesuai agenda tahapan dan jadwal, penetapan hasil Pemilu maksimal tanggal 20 Maret mendatang.

Menyikapi Konflik, Mencegah Eskalasi

Mencermati perkembangan yang terjadi terkait agenda penetapan hasil Pemilu di tengah polarisasi dan potensi konflik horisontal yang sewaktu-waktu bisa meledak ini, para pihak terutama yang berkepentingan langsung terhadap Pemilu mestinya tidak menganggap potensi ini sebagai perkara remeh temeh.

Sebab jika polarisasi dibiarkan meliar, lalu konflik fisik dan terbuka terjadi dan kemudian gagal dikelola dengan baik tidak mustahil ia akan terus berlanjut ke fase gugatan perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan bisa terus berkepanjangan. Sementara Mei-Juni tahapan Pilkada sudah akan memasuki tahapan, dan Oktober anggota DPR dan Presiden-Wapres terpilih harus sudah dilantik untuk memastikan pemerintahan tidak mengalami vacuum of power.

Lantas apa yang perlu dilakukan dalam menyikapi potensi konflik fisik dan terbuka serta mencegah eskalasinya supaya tidak mengganggu stabilitas sosial politik dan keamanan, serta tidak membahayakan integras nasional. Berikut beberapa langkah mendesak yang perlu menjadi pertimbangan para pihak.

www.istock.com
www.istock.com

Para Pihak Menahan Diri, Aparat Persuasif

Langkah mendesak yang pertama adalah masing-masing pihak yang berkepentingan agar berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri. Bukan tidak perlu demonstrasi atau mengemukakan sikap dan pendapat, karena ini adalah hak konstitusional yang tidak bisa dihalang-halangi.

Hanya saja, jika memang unjuk rasa menjadi pilihan yang akan ditempuh sebagai salah satu jalan untuk mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi, sebaiknya dilakukan dengan tetap memperhatikan peraturan perundangan dan kemaslahatan publik. Cara-cara kasar dan provokatif yang dapat memantik kemarahan atau amuk massa harus dihindari. Saran ini juga berlaku untuk pihak yang melakukan kontra-aksi, atau sebut saja aksi tandingan.

Di sisi lain, aparat keamanan yang menangani aksi dan kontra-aksi juga perlu bersikap bijak dan adil tanpa kehilangan ketegasan dalam menegakan hukum. Cara-cara koersif, apalagi menjurus brutal harus dihindari. Sebaliknya pendekatan persuasif dan humanis harus dikedepankan.

Percayai Proses Hukum dan Jalan Konstitusi 

Langkah simlutan lainnya adalah menjadikan proses hukum dan jalan konstitusional sebagai muara penyelesaian konflik. Para pihak yang berkonflik, disertai atau tidak disertai aksi dan kontra-aksi lapangan, hendaknya sama-sama memegang komitmen untuk memberikan kepercayaan kepada lembaga-lembaga terkait dalam mencarikan solusi yang adil, bijak dan komprehensif.

Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah KPU dan Bawaslu dalam konteks memproses dan menetapkan hasil Pemilu serta pengawasannya. MK dalam konteks peradilan gugatan perselisihan hasil Pemilu jika kemudian penetapan oleh KPU digugat oleh para pihak. Dan DPR dalam konteks penyelidikan dugaan kecurangan proses Pemilu jika kemudian Hak Angket akhirnya digunakan.

Integritas (benar dan jujur), imparsialitas (tidak memihak dan adil), serta profesionalitas (menjaga kompetensi dan marwah) mutlak dipegang teguh dan ditunjukan oleh kesemua lembaga tersebut agar para pihak yang berkonflik dan publik pada umumnya dapat memercayai proses yang dilakukan dan hasil yang ditetapkan nanti. Gagal menunjukan ketiga sikap ini potensial dapat memicu penajaman dan eskalasi konflik.

Menghindari Perilaku Provokatif

Terakhir tetapi sama mendesaknya adalah menghindari segala bentuk perilaku yang bersifat provokatif oleh satu pihak terhadap pihak lain, terutama yang dilakukan oleh pemerintah. Perilaku atau tindakan provokatif yang dimaksud bisa berupa kebijakan dan/atau tindakan pemerintah yang dapat meningkatkan suhu kekecewaan para pihak (peserta Pemilu maupun masyarakat non-partisan elektoral) yang selama ini melihat pemerintah sudah berlaku tidak netral.

Langkah Presiden Jokowi membahas persiapan dan penganggaran program makan siang dan susu gratis beberapa hari lalu misalnya, adalah salah satu contoh kebijakan provokatif yang mestinya tidak perlu dilakukan. Alasannya sederhana saja. Tahapan menuju akhir Pemilu masih cukup Panjang. Setidaknya Presiden dan Wapres terpilih belum dilantik, bahkan juga belum ditetapkan.

Langkah itu seakan mengonfirmasi bahwa Presiden dan pemerintah memang tidak netral.  Bahkan juga bisa semakin mempertebal keyakinan publik (yang percaya) bahwa Pilpres memang sudah disiapkan demikian rupa untuk dimenangkan oleh Prabowo-Gibran.

Jika model-model kebijakan ini dibiarkan dan besok atau lusa diulang (entah terkait apa dan dalam bentuk bagaimana) saya kira ini tidak sehat, jauh dari kata bijak. Karena potensial bisa semakin mempertajam polarisasi dan situasi konflik.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun