Seperti diperkirakan banyak ahli dan pengamat saat tahapan baru dimulai pertengahan 2022 silam, Pemilu 2024 akhirnya memang kembali melahirkan polarisasi di dalam masyarakat. Hanya saja faktor pemicunya berbeda. Pemilu 2019 polarisasi dipicu oleh politisasi identitas yang sangat tajam, non-elektoral sifatnya (studi ini bisa dibaca di laman Jurnal KPU).
Kini polarisasi dipicu oleh perilaku politik Presiden yang dinilai telah bertindak tidak netral dalam Pemilu. Karena secara vulgar kerap mempertontonkan keberpihakan dan dukungannya terhadap Paslon Prabow-Gibran. Baik melalui kebijakan pemerintah yang dipimpinnya maupun melalui manuver-manuver politik yang dilakukan bersama para pembantu dekatnya di kabinet dan aparat pemerintah.
Masyarakat kini terbelah ke dalam dua kubu. Yakni kubu pendukung hasil Pemilu yang dalam hitungan sementara dimenangi Prabowo-Gibran dan kubu yang menilai hasil Pemilu cacat karena diwarnai banyak kecurangan yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Kubu pertama jelas para pendukung Prabowo-Gibran. Sementara kubu kedua adalah para pendukung Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud, dan masyarakat sipil yang tidak terafiliasi secara elektoral dengan Paslon manapun.
Memasuki bulan Maret ini polarisasi itu potensial mengejewantah dalam bentuk gerakan dan kontra-gerakan, aksi dan kontra-aksi di lapangan. Mengingat pada bulan Maret inilah KPU RI menjadwalkan penetapan hasil Pemilu. Hari pertama rekapitulasi nasional sudah dimulai 28 Februari lalu, dan berlangsung alot karena banyaknya kritik dari peserta Pemilu. Sesuai agenda tahapan dan jadwal, penetapan hasil Pemilu maksimal tanggal 20 Maret mendatang.
Menyikapi Konflik, Mencegah Eskalasi
Mencermati perkembangan yang terjadi terkait agenda penetapan hasil Pemilu di tengah polarisasi dan potensi konflik horisontal yang sewaktu-waktu bisa meledak ini, para pihak terutama yang berkepentingan langsung terhadap Pemilu mestinya tidak menganggap potensi ini sebagai perkara remeh temeh.
Sebab jika polarisasi dibiarkan meliar, lalu konflik fisik dan terbuka terjadi dan kemudian gagal dikelola dengan baik tidak mustahil ia akan terus berlanjut ke fase gugatan perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan bisa terus berkepanjangan. Sementara Mei-Juni tahapan Pilkada sudah akan memasuki tahapan, dan Oktober anggota DPR dan Presiden-Wapres terpilih harus sudah dilantik untuk memastikan pemerintahan tidak mengalami vacuum of power.
Lantas apa yang perlu dilakukan dalam menyikapi potensi konflik fisik dan terbuka serta mencegah eskalasinya supaya tidak mengganggu stabilitas sosial politik dan keamanan, serta tidak membahayakan integras nasional. Berikut beberapa langkah mendesak yang perlu menjadi pertimbangan para pihak.
Para Pihak Menahan Diri, Aparat Persuasif