Ketiga, bahwa kubu Prabowo-Gibran, meski sudah menyampaikan "pidato kemenangan" nampaknya tidak cukup pede dengan hasil Pemilu. Karena itu mereka "menggunakan" tangan Jokowi untuk membuka pintu komunikasi dengan lawan kontestasinya agar bersedia menerima hasil Pemilu. Pintu komunikasi itu adalah Surya Paloh sebagaimana saya uraikan alasannya di Kompasiana edisi 19 Februari 2024. Â
Tetapi mungkinkah memang demikian? Dugaan saya begitu. Karena cara-cara ini pula yang selama perhelatan Pemilu berlangsung sering dilakukan Jokowi, bahkan sejak tahapan prakandidasi Pilpres. Jokowi sendiri yang menyematkan sebuah istilah yang kini jadi populer untuk manuver-manuver politik elektoralnya ini: "cawe-cawe."
Rekonsolidasi Kekuatan Menghadang Pemakzulan
Selain manuver untuk mengupayakan agar hasil Pemilu diterima oleh dua kubu yang diyakini Jokowi sudah kalah, dan masyarakat luas tentu saja. Pertemuannya dengan Surya Paloh nampaknya juga dimksudkan sebagai langkah antisipasi politik untuk menghadang arus desakan pemakzulan kelompok-kelompok civil society.
Melalui Surya Paloh sebagai langkah awal, Jokowi berusaha mengonsolidasikan kembali kekuatan-kekuatan politik yang mendukungnya selama ini, terutama dari partai politik koalisi penyokong pemerintahannya. Kita tahu, oleh sebab pilihan sikap dan pandangan elektoral yang berbeda, koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf cerai-berai. Karena itu, dalam konteks ini dugaan saya Jokowi juga akan mengundang partai-partai lain di luar koalisi pendukung Parbowo-Gibran ke istana.
Tetapi saya melihat Surya Paloh sebetulnya adalah second actor. Seperti kita tahu sebelum pemungutan suara 14 Februari lalu, Jokowi telah berusaha untuk menemui  Megawati melalui mediasi Sultan Yogya. Jadi, tokoh prioritas yang menjadi target manuver Jokowi untuk menerima apapun hasil Pemilu boleh jadi adalah Megawati. Tetapi keinginan Jokowi itu gagal, setidaknya sampai hari ini.Â
Sekjen PDIP, Hasto Kristyanto bahkan secara terbuka sudah menyatakan kesiapan partainya untuk menjadi oposisi jika akhirnya Pemilu dimenangkan Prabowo-Gibran. Saat yang sama, sikap Ganjar-Mahfud dan tim pemenangannya atas hasil sementara Pemilu juga tetap kritis. Kabar terakhir, mereka bahkan berencana akan membentuk tim hukum bersama, atau setidaknya kerjasama dengan kubu Anies-Muhaimin untuk membongkar berbagai kasus kecurangan Pemilu.
Meredam Arus Deras PerubahanÂ
Agenda terakhir Jokowi dari pertemuannya dengan Surya Paloh nampaknya adalah untuk meredam semangat perubahan yang kadung sudah menggelora di tengah masyarakat, yang potensial dapat mengganggu jalannya pemerintahan baru nanti.
Strateginya simpel dan sangat biasa dalam praksis politik. Yakni mengajak bergabung dalam koalisi dengan kompensasi sejumlah jabatan, bisa di kabinet atau pos-pos setingkat kementerian, bisa juga di luar keduanya, misalnya di BUMN. Bukankah seperti didalikan Harold Lasswell dalam buku klasiknya, "Politics: Who Gets What, When, How" (1936)? Bahwa politik adalah tentang siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana.
Langkah strategis itu penting bagi Jokowi terlebih jika dikaitkan dengan pernyataan Anies yang berjanji kepada pendukungnya akan istiqomah dalam gerakan perubahan. Tidak akan bergeser sedikitpun, ke kanan mamupun ke kiri. Pun jika dikaitkan lagi dengan suara-suara publik non-partisan yang terus menderas mengkritisi Jokowi belakangan ini.