Setiap warga negara yang waras pastilah ingin melihat Pemilu kelak berakhir dengan baik, jurdil dan berintegritas. Semua pihak, termasuk kubu yang kalah dan para pendukungnya serta berbagai elemen masyarakat kritis bisa menerima hasilnya dengan legawa. Penerimaan hasil Pemilu oleh rakyat penting supaya Paslon terpilih memperoleh legitimasi politik, termasuk pemerintahan baru yang kelak akan dibentuknya.
Sebaliknya, penolakan terhadap hasil Pemilu berpotensi bisa menimbulkan sedikitnya tiga problematika sosio-politik kenegaraan.
Pertama legitimasi politik Paslon terpilih akan berada di titik nadir. Kedua pemaksaan (dengan cara-cara otoriter) agar hasil Pemilu diterima rakyat potensial akan melahirkan arus balik perlawanan. Ketiga pemaksaan penggunaan cara-cara rezim otoritarian dan arus balik perlawanan niscaya akan memicu instabilitas politik dan keamanan. Ketiganya jelas membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa dan negara.
Tetapi hingga saat ini keinginan itu nampaknya akan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Faktor penyebabnya bukan semata-mata karena persoalan kontestasi merebut simpati dan dukungan pemilih. Melainkan karena adanya perlakuan diskriminatif yang dirasakan oleh Paslon 01 dan 03 yang kalah menurut perhitungan sementara real count KPU dan fakta telah terjadinya dua kasus pelanggaran etik yang dipicu oleh proses pencalonan Paslon 01.
Refleksi Kegaduhan
Sekedar refleksi, sekilas kembali ke belakang. Pemilu (Serentak) 2024 dimulai tahapannya pada tanggal 14 Juni 2022. Penetapan tahapan ini dituangkan di dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024.
Penetapan tanggal itu sesuai ketentuan Pasal 167 ayat (6) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bahwa tahapan penyelenggaraan Pemilu dimulai paling lambat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Sejak dilaunching 14 Juni 2022 lalu perjalanan tahapan Pemilu berlangsung tertib, landai dan cukup kondusif. Nyaris tidak ada masalah, kecuali pada saat penetapan partai politik Peserta Pemilu yang sempat diwarnai dengan sedikit “kegaduhan” di internal KPU dan KPU Daerah. Tapi semua akhirnya selesai tanpa mengganggu pelaksanaan tahapan.
Problematika elektoral yang kemudian memicu kegaduhan panjang hingga saat ini baru muncul pada saat proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Oktober 2023 lalu. Seperti kita tahu, proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden diwarnai oleh terbitnya putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU mengenai syarat minimal usia Capres/Cawapres. Putusan MK Nomor 90 yang kemudian memicu kegaduhan berkepanjangan itu diduga sarat dengan kepentingan politik nepotistik dan karenanya melanggar etik.
Alasannya jelas, bahwa dengan putusan tersebut, Gibran (putra Presiden Jokowi) yang semula tidak dimungkinkan bisa menjadi Capres karena belum memenuhi syarat minimal usia kemudian menjadi terbuka. Putusan itu dibacakan dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK, Anwar Usman, yang tidak lain adalah adik iparnya Presiden Jokowi.
Dugaan itu kemudian terbukti, terkonfirmasi melalui putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara dugaan adanya pelanggaran etik oleh para Hakim Konstitusi terutama Anwar Usman selaku Ketua MK. Majelis Kehormatan MK memtuskan bahwa dugaan pelanggaran etik terbukti secara meyakinkan. Dan Anwar Usman akhirnya dicopot dari jabatannya selaku Ketua, meski kedudukannya sebagai anggota tidak terimbas.
Dengan alasan demi kepastian hukum, Gibran tetap memenuhi syarat dan sah sebagai Cawapres karena sedang menjabat Kepala Daerah meski usianya belum 40 tahun sebagaimana diatur dalam UU 7 Tahun 2017.
Akan tetapi secara moral pencalonan Gibran terus dipergunjingkan banyak pihak. Dan ini berimbas pada konstelasi politik elektoral. Suasana kontestasi jadi banyak disesaki oleh pertengkaran antar kubu Paslon yang bermuara pada isu etik-moral.
Paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud terus mengungkit soal etik dan moral. Sebaliknya, kubu Prabowo-Gibran nyaris saban hari melakukan counter pembelaan, terkadang dengan mengorbankan kewarasan akal.
Kegaduhan menjadi lebih parah lagi dengan inkonsistensi sikap Presiden Jokowi dalam memposisikan dirinya di tengah kompetisi Pemilu. Jokowi dianggap intervensi terlalu jauh dalam upaya menyokong Paslon 02. Ia juga kerap memperlihatkan sikap inkonsisten dan telah mempolitisasi Bansos untuk kepentingan pemenangan Prabowo-Gibran.
Cawe-cawe Jokowi dan absennya sikap kenegarawanan dalam mengawal Pemilu serta diperparah oleh kelakuan sejumlah menterinya di kabinet yang secara terang-terangan mengkampanyekan Paslon 02 tanpa mengambil cuti kampanye itulah yang kemudian menjadi sorotan tajam kalangan cendekiawan di berbagai perguruan tinggi (negeri bahkan) dan tokoh-tokoh masyarakat dari lintas golongan dan profesi.
Dibutuhkan Sikap Kenegarawanan
Puncak tahapan Pemilu sudah berlangsung 14 Februari lalu. Mestinya situasi elektoral saat ini mulai melandai karena poin paling utama dari Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat adalah suara rakyat sudah diberikan jalan penyalurannya. Di bilik suara kemarin rakyat telah mengartikulasikan pilihan politiknya, dan patut disyukuri karena semua berlangsung relatif aman dan tertib.
Akan tetapi, suasana landai itu ternyata hanya sekejap saja, hanya berlangsung persis pada hari dimana para pemilih datang ke TPS dan menyalurkan hak politiknya. Selang beberapa jam setelah pencoblosan, kegaduhan kembali menguat. Pemicu pertama adalah absennya kearifan dari kubu 02 yang hanya berdasarkan hasil quick count serta merta menggelar pidato kemenangan.
Pidato kemenangan yang memancing reaksi kubu 01 dan 03 serta masyarakat sipil non-partisan itu dianggap sebagai tindakan berlebihan dan terlampau terburu-buru. Bahkan kemudian banyak yang mengasosiasikannya dengan skenario besar perancangan pemenangan Paslon 02 seperti dipaparkan dalam film dokumenter Dirty Vote saat masa tenang berlangsung.
Tensi politik terasa kian melambung dengan beredarnya tayangan video dan pemberitaan tentang temuan-temuan indikasi kecurangan di berbagai TPS dan daerah serta Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) KPU yang bermasalah hingga saat ini.
Sekali lagi, Pemilu yang jurdil dan berintegritas pastinya merupakan harapan setiap warga negara. Tetapi keinginan itu kini berhadapan dengan tantangan yang tidak ringan. Yakni desakan dilakukannya penegakan hukum dan keadilan Pemilu dengan pengusutan tuntas berbagai kasus sebagaimana diuraikan di atas. Di sisi lain memastikan bangsa ini tetap kokoh dalam persatuan dan keutuhan adalah juga merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar.
Bukan pekerjaan yang mudah tentu saja. Dan rasa-rasanya nyaris mustahil jika kedua prioritas kebangsaan ini diserahkan kepada para politisi yang saat ini sedang sama-sama panas, sama-sama merasa sedang memperjuangkan hak politik dan “jalan kebenarannya” masing-masing.
Dalam konteks inilah dibutuhkan sikap kenegarawanan adiluhung dari tokoh-tokoh bangsa, baik yang berada di lingkungan pemerintahan maupun di luar pemerintahan untuk menyelesaikannya. Yakni menegakan hukum dan keadilan Pemilu sekaligus menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Dan Presiden Jokowi sebagai kepala negara, menurut hemat saya adalah salah satu kunci penyelesaian kegaduhan ini.
Bersama para pimpinan lembaga tinggi negara, ketiga Paslon, tokoh-tokoh masyarakat lintas golongan dan non-partisan serta kalangan cendekiawan yang sudah selesai dengan dirinya, hemat saya Presiden Jokowi perlu mengambil inisiatif penyelesaian yang terukur, proposional, setara dan berkeadilan.
Baca juga yuuk: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/65ccd3d612d50f2b403a66f2/cara-bijak-dan-taat-hukum-menyikapi-hasil-pemilu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H