Jika merujuk pada narasi Feri dan Uceng, desain kecurangan Pemilu 2024 sudah lama dirancang dan secara kolektif melibatkan aktor-aktor di sentra kekuasaan negara dalam 10 tahun terakhir. Hanya saja hasil rancangan konspiratif itu kemudian jatuh ke tangan yang sedang berkuasa, dan ini tentu saja yang dimaksud adalah Presiden Jokowi.
Bahwa kemudian, "Dirty Vote" lebih banyak mengulas dan menyoroti sosok Prabowo-Gibran dan kubu koalisinya, ini karena Prabowo-Gibran lah yang kemudian menjadi "actor project" konspirasi itu. Andai saja, pada tahapan pra-kandidasi Pilpres 2024 lalu terjadi titik-temu kepentingan antara Jokowi dengan Megawati boleh jadi "actor project-nya" adalah Prabowo-Ganjar atau Ganjar-Prabowo.
Pelajaran Berharga
Terlepas dari siapapun yang akhirnya menjadi "actor project" dari desain kecurangan itu. Pun terlepas dari kontroversi yang kemudian marak di tengah masyarakat. Hemat saya film ini tetap menghadirkan sejumlah sisi positif yang pantas diapresiasi.
Pertama, kehadiran Dirty Vote sangat berarti dalam kerangka menjaga kewarasan nalar publik, menghidupkan wacana kritis, sekaligus merawat kebebasan berkespresi sebagai bagian substantif dalam tradisi demokrasi.
Kedua, film ini juga penting dilihat dari sisi pendidikan politik dan penguatan pengetahuan dan kesadaran kritis masyarakat. Konten film ini memuat berbagai isu krusial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dimana publik berhak untuk tahu dan faham secara utuh. Terlebih kesemuanya terkait dengan perhelatan elektoral dimana rakyat akan memilih siapa pemimpin yang akan diberinya mandat lima tahu kedepan.
Ketiga, sebagai film dokumenter berbasis data, informasi dan fakta-fakta seputar isu-isu krusial terkait perhelatan Pemilu, Dirty Vote akan menjadi arsip sejarah yang berharga di kemudian hari. Berharga karena berisi rekaman banyak peristiwa dan jejak elektoral yang kelak bisa menjadi sumber "pembelajaran" kolektif sebagai bangsa.
Keempat, Dirty Vote mestinya juga bisa membuka pintu kesadaran nurani dan kewarasan akal budi para elit politik perancang konspirasi yang mungkin selama ini terhijabi oleh syahwat kuasa dan rupa-rupa sandera.
Kelima, yang terakhir. Film ini juga bisa semakin meningkatkan kesadaran kritis masyarakat, khususnya para pemilih yang akan turut menentukan siapa yang kelak bakal memimpin negara bangsa ini lima tahun kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H