Hanya saja, dalam konteks situasional kompetisi Pemilu yang cenderung makin unfair, debat yang penting itu bisa menjadi tidak berguna. Dalam arti tidak akan memberikan efek insentif atau disinsentif bagi para kandidat.
Situasi itu bisa terjadi karena preferensi pemilih sudah terdistorsi. Preferensi pemilih sudah "dikerangkeng" oleh instrumen-instrumen tak sehat seperti Bansos yang diklaim sebagai bantuan pribadi, tebaran cinderamata kampanye dalam berbagai bentuk, ketidaknetralan Presiden dan para pejabat negara, atau mobilisasi aparat pemerintah secara terstruktur, sistemik dan masif untuk kepentingan paslon tertentu.
Itulah yang disuarakan secara moral oleh para begawan intelektual non-partisan. Para cendekiawan kampus yang "berumah di atas angin" (meminjam istilah almarhum WS Rendra) yang kini saling bersahutan di berbagai kota. Mereka meminta dan mendesak agar Presiden Jokowi dan para pejabat segera menghentikan cara-cara unfair dan tak sehat itu, dan kembali menjadi negarawan, yang mengayomi semua golongan dan kelompok, serta berdiri tegak di titik tengah "paling ekstrim" perhelatan elektoral.
Jadi, debat memang tetap penting. Tapi dalam situasi sekarang, di sisa waktu kampanye dan masa tenang, mendesak Jokowi menjadi negarawan sekaligus menghentikan manuver-manuver keberpihakan para menteri dan aparatnya di bawah jauh lebih penting. Â Semuanya penting dilakukan, sat-set, agar debat berguna, Pemilu berlangsung fair, jurdil serta berintegritas, dan hasilnya diterima oleh rakyat. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H