Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fatwa MUI tentang Pemilu, Syarat Pemimpin, dan Golput

1 Februari 2024   08:00 Diperbarui: 1 Februari 2024   08:02 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                                                   www.cnbcindonesia.com

Tersisa dua pekan lagi dari sekarang, bangsa Indonesia akan memilih para pemimpin baik di lembaga eksekutif maupun legislatif (Pilpres dan Pileg). Dalam konstruksi hukum Pemilu, memilih merupakan hak, bukan kewajiban. Sebagai hak, ia bisa digunakan, bisa juga tidak digunakan. Tidak ada larangan dan karenanya juga tidak ada sanksi bagi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya oleh sebab satu dan lain alasan.

Tetapi bagi umat Islam (Indonesia), memilih merupakan salah satu kewajiban (sosial kebangsaan) sebagaimana hasil 'Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diputuskan di Padang Sumatera Barat, Januari 2009 silam. Fatwa MUI ini kemudian lebih populer dikenal sebagai fatwa tentang larangan Golput dalam Pemilu, anggapan yang kurang tepat sebetulnya sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.

Latar Belakang

Jika ditelusuri kembali latar belakang sejarahnya, fatwa tersebut sebetulnya memang tidak secara spesifik mengatur soal larangan Golput. Istilah Golput-nya sendiri bahkan sama sekali tidak disebutkan di dalam 5 (lima) diktum fatwanya.

Hanya saja, fatwa ini memang lahir dari latar belakang maraknya kembali potensi Golput khususnya menjelang Pemilu 2009 silam. Dan sebagaimana kaidah yang digunakan MUI, suatu fatwa biasanya terbit karena adanya permintaan dari pihak luar, dalam hal ini terutama umat Islam yang berkepentingan terhadap suatu perkara dalam masyarakat.

Ketika itu, beberapa pihak, diantaranya para tokoh masyarakat dan partai politik meminta pendapat MUI terkait fenomena Golput yang cenderung membesar angkanya baik dalam Pemilu maupun Pilkada, dan secara khusus sebagai antisipasi menjelang Pemilu 2009. Salah satunya adalah Hidayat Nur Wahid yang kala itu menjabat sebagai Ketua MPR RI.

Sebagaimana dijelaskan oleh KH. Ma'ruf Amin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI, bahwa: "Fatwa ini muncul karena ada permintaan dari masyarakat. Fatwa MUI untuk menghadapi pro-kontra golongan putih. Namun, kami tidak masuk dalam istilah Golput, tapi masuk pada istilah memilih pemimpin dan tidak memilih pemimpin. Ini lebih memiliki landasan kuat. Dalam rangka akhdzul imamah, dengan fatwa ini kita kasih tuntutan memilih pemimpin muslim," (Gufron, Fatwa Penggunaan Hak Pilih Dalam Pemilu, Skripsi 2009).

Substansi Fatwa

Secara substantif, Fatwa MUI dimaksud berisi 5 (lima) poin kaidah yang harus dipatuhi sebagai guidance umat Islam dalam memilih pemimpin. Berikut kelima poin tersebut :

Pertama, Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

Kedua, Memilih pemimpin (nashbu al imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.

Ketiga, Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

Keempat, Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib

Kelima, Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Kelima poin fatwa itu merupakan guidance bagi umat Islam dalam menyikapi Pemilu sebagai hajat bersama dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara (diktum pertama), status hukum memilih (diktum kedua), syarat-syarat pemimpin yang ideal serta implikasi hukum dari pilihan sikap politiknya (diktum ketiga, keempat dan kelima).

Pemilu dan Memilih Pemimpin 

Terkait kedudukan Pemilu, fatwa MUI menetapkan dua hal penting. Pertama, bahwa Pemilu merupakan ikhtiar bersama sebagai bangsa untuk memilih pemimpin baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Kedua, Pemilu diselenggarakan untuk tujuan mewujudkan cita-cita bersama sesuai aspirasi umat (Islam) dan kepentingan bangsa (seluruh rakyat Indonesia).

Dalam konteks ini penting untuk diingat kembali, bahwa Al Quran tidak memerintahkan secara eksplisit tentang bagaimana cara atau mekanisme memilih pemimpin. Demikian pula halnya Nabi Muhammad SAW. Beliau hanya menyebutkan sejumlah prinsip dasar soal kepemimpinan, misalnya kewajiban memilih pemimpin dan prinsip musyawarah dalam memilih pemimpin.

Selain itu Nabi Muhammad juga tidak menunjuk siapa calon penggantinya, meski secara nasab kekeluragaan dan/atau kekerabatan, Ali bin Abi Thalib tentu sangat mungkin dipersiapkan atau dikader sebagai kandidat penggantinya. Ali adalah menantu sekaligus putra pamannya. Jadi, Islam tidak mewariskan sejarah politik kedinastian.

Itu sebabnya, empat khalifah pengganti (khulafa al rasyidin) kepemimpinan beliau sebagai pemimpin politik dipilih melalui mekanisme yang berbeda. Abu Bakar Asshidiq dipilih melalui musyawarah langsung oleh para sahabat Muhajirin dan Anshor. Umar bin Khatab ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya (Khalifah Abu Bakar) namun setelah melalui proses musyawarah dan masukan secara deliberatif dengan para sahabat utama. Utsman bin Affan dipilih secara tidak langsung oleh suatu badan atau komisi yang terdiri dari 6 sahabat utama. Dan Ali bin Abi Thalib dipilih secara aklamasi dalam situasi darurat kepemimpinan pasca kerusuhan yang menewaskan Khalifah Utsman bin Affan.    

Oleh sebab Pemilu merupakan ikhtiar wajib yang dilakukan untuk memilih pemimpin dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama tadi, maka status hukum memilih pemimpin kemudian menjadi wajib dalam rangka menegakan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan).

 

Syarat Pemimpin dan Hukum Memilih

Terkait syarat pemimpin, fatwa MUI memberikan guidance dasar bahwa Imamah dan Imarah menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat. Artinya tidak bertentangan dengan ketentuan ajaran Islam. Ini dinyatakan secara eksplisit dalam diktum ketiga fatwa MUI.

Di dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, substansi guidance ini diformulasikan dalam rincian persyaratan calon anggota Legislatif, calon Presiden-Wakil Presiden, serta calon Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah, dan semua ketentuan persyaratan itu clear. Tidak ada satupun ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan juga dengan ajaran agama manapun yang secara hukum keberadaannya diakui resmi di Indonesia.

Selanjutnya fatwa MUI menetapkan hukum wajib bagi setiap umat Islam untuk memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Secara implisit diktum keempat tersebut juga merupakan guidance tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi para calon pemimpin. Ini diperjelas dalam diktum kelima yang menyatakan, bahwa bagi umat Islam, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah sama-sama haram.

Demikian ulasan fatwa MUI seputar Pemilu, syarat pemimpin dan hukum memilih bagi umat Islam dalam Pemilu. Semoga manfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun