Terlebih jika dikaitkan dengan kabar yang beredar sebelumnya bahwa Jokowi ingin bertemu dengan Megawati. Tetapi kabar ini segera dibantah baik oleh pihak Istana maupun pihak PDIP sendiri.
Karena itu saya justru membaca makna yang sebaliknya. Kiriman bunga itu adalah penegasan Jokowi soal standing position dan jalan politiknya yang sudah selesai dengan PDIP. Namun yang disampaikannya dengan tetap mengedepankan courtesy, penghormatan dan kesantunan sebagai sesama pemimpin bangsa.
Argumen untuk bacaan ini sederhana, karangan bunga itu tidak datang bersama Jokowi, dan ini kabarnya tidak biasa. Karena biasanya Jokowi datang langsung pada setiap momen ulang tahun Megawati. Sebelumnya Jokowi juga tidak hadir dan memilih kunjungan keluar negeri ketika PDIP berulang tahun beberapa pekan lalu. Idem ditto, ini juga tidak biasa, karena biasanya Jokowi selalu menyempatkan hadir pada momen bersejarah PDIP itu.
Apakah dengan demikian hubungan Jokowi-Megawati bakal permanen berakhir dan tidak bisa direkatkan dan dibangun kembali, tentu soal lain. Karena kita faham dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Hari ini bisa berkawan, besok menjadi lawan. Besok menjadi lawan, lusa bisa kembali berkawan. Â Dan relasi politik bisa dibangun melalui beragam cara, salah satunya adalah dengan mengikatkan diri dalam koalisi, baik dalam fase Pemilu maupun koalisi di parlemen pasca pemerintahan baru hasil Pemilu terbentuk.
Tetapi bahwa PDIP sebagai jalan politik nampaknya memang sudah berakhir bagi Jokowi. Beberapa indikasi bisa dibaca. Misalnya kemunculan Jokowi dalam tayangan iklan PSI, partai yang dipimpin putra bungsunya, Kaesang. Dalam politik ini tentu tidak bisa dianggap sepele, sekedar tampil, atau sekedar membantu perjuangan anaknya agar PSI dapat melewati parliamentary threshold dan lolos ke Senayan. Dugaan saya, Jokowi sedang menyiapkan PSI sebagai kendaraan masa depan politiknya.
Kemudian sekali lagi, ketidakhadiran Jokowi pada momen ulang tahun PDIP ke-52 lalu. Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya selama ia "diasuh" dalam pangkuan politik PDIP dan Megawati. Ketidakhadiran itu tidak bisa lain maknanya, kecuali bahwa Jokowi menganggap PDIP adalah masa lalunya.
Kemudian yang paling terbuka dan mudah dibaca bahkan oleh orang awam sekalipun secara politik tentu saja adalah keberpihakannya pada Prabowo-Gibran dalam kontestasi Pemilu 2024 ini. Pilihan sikap ini nyata-nyata merupakan bentuk pengingkaran Jokowi terhadap garis kebijakan partai yang sudah membesarkan dan mengantarkannya pada puncak karir politik.
Terakhir, dinamika politik elektoral yang kian panas dan telanjang di hadapan publik, yang secara diametral menunjukan konflik tajam antara kubu Ganjar-Mahfud versus kubu Prabowo-Gibran.
Situasi itu jelas akan membuat Jokowi semakin keras dengan pilihan sikap politiknya. Karena dalam ukuran manusiawi, mustahil Jokowi merasa tenang dan nyaman-nyaman saja ketika kebijakan-kebijakannya diserang oleh menterinya sendiri, dan bahkan juga putra sulungnya yang "dikeroyok" di forum debat, di hadapan jutaan rakyatnya.
Penghormatan dan Sopan-santun Politik
Jika sudah sedemikian keruhnya relasi politik Jokowi dan Megawati, lantas mengapa Jokowi masih merasa perlu mengirim bunga dan ucapan selamat? Sederhana saja jawabannya, namun penting maknanya. Yakni sebagai bentuk penghormatan dan sopan santun politik antar elit dan pemimpin bangsa.