Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

"Khutbah" Megawati: Ujian bagi Jokowi, Teguran Juga bagi Dirinya

20 Januari 2024   16:40 Diperbarui: 20 Januari 2024   17:07 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah persaingan elektoral yang terus memanas, Megawati kembali memberikan tawsiyah politik.

"Memang kuasa itu enak kok. Tetapi kan ibu udah suruh berhenti ya berhenti. Lupa daratan. Ayoo, makanya itu cobaan, jangan lupa, ini khutbah lagi..." demikian Megawati "berkhotbah" di antara kata sambutannya di hadapan jemaat perayaan Natal bersama PDIP di JIExpo Kemayoran Jakarta, Kamis 18 Januari lalu.

Dengan nada yang kemudian ngegas ia melanjutkan khutbahnya, "Mengapa ada orang-orang yang karena beringin kekuasaan tetap langgeng sehingga melupakan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan oleh siapa saja." (KompasTv, 19 Januari 2024).

Pesan untuk Jokowi 

Siapa yang dimaksud Megawati sebagai "orang-orang yang demi melanggengkan kekuasaan terus melupakan hal-hal yang dilarang?" Publik pasti sudah faham. Meski tidak menyebut secara eksplisit, yang dimaksud Mega nampaknya adalah Jokowi dan kroni politiknya (keluarga dan elit-elit parpol pendukung manuver-manuver politiknya).

Tapi sebagai sebuah tawsiyah, tentu saja khutbah Megawati bisa direspon dan difahami secara umum. Artinya berlaku bagi siapapun. Ini tawsiyah moral yang baik, khutbah politik yang bijak. Dengan demikian, tawsiyah ini juga bisa berlaku untuk dirinya sendiri. Ingat filosofi klasik kala seseorang memberi nasihat atau arahan pada orang lain. Bahwa "ketika satu jari telunjuk mengarah ke depan, ada empat jari lain menunjuk pada diri sendiri."

Dari materi sambutan itu nampak jelas dan lugas, Megawati masih terus memendam (dan mungkin akan tersimpan selamanya di memori pribadinya) kekecewaan dan amarah atas apa yang sudah terjadi terkait pencalonan Gibran sebagai Cawapres  yang dilakukan melalui "pintu masuk" putusan MK Nomor 90 yang terbukti kemudian ada pelanggaran etik dalam proses peradilannya. Cara nir-adab yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan oleh siapapun itu ditempuh demi upaya melanggengkan kekuasaan.

Kira-kira itulah substansi pesan yang berada di belakang khutbah Megawati, yang sudah beberapa kali ia ungkapkan di hadapan publik. Salah satunya pernah saya tulis di kompasiana edisi 30 November 2023 lalu. 

Belakangan kekecewaan dan amarah Megawati mungkin makin terakumulasi mengingat sejumlah peristiwa dan kejadian di masa kampanye yang memperlihatkan secara terbuka keberpihakan Jokowi dan para pembantunya di kabinet serta berbagai indikasi adanya ketidaknetralan aparatur negara dan pemerintah kepada Prabowo-Gibran. Dalam konteks ini, kekecewaan dan amarah Megawati tentu bisa difahami. Karena sejatinya kita semua ingin Pemilu ini berlangsung jurdil dan berintegritas.

Bahwa UU membolehkan Presiden, Wapres dan para Menteri boleh mendukung dan berkampanye untuk Paslon Capres-Cawapres memang tidak keliru. Tapi cara dan bentuknya harus clear. Dan salah satu yang terpenting adalah tidak dengan menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan serta tidak menggunakan fasilitas negara dan pemerintah, baik itu sumberdaya manusia (aparatur), kebijakan, anggaran maupun fasilitas kepejabatan lainnya.

Megawati, sebagaimana juga banyak publik melihat, kecenderungan dan indikasi abuse of power oleh para pejabat negara di fase kampanye ini memang banyak terjadi di lapangan, di hadapan masyarakat.

Jadi, pesan Megawati ini penting untuk menjadi catatan bagi Jokowi dan kroni-kroni elektoralnya. Sudahi setiap manuver politik yang nyerempet-nyerempet bahaya, mendekati penyalahgunaan kekuasaan. Berkompetisilah secara fair supaya proses dan hasil Pemilu ini kelak dipercaya oleh rakyat, dan siapapun yang terpilih nanti pantas memperoleh legitimasi moral dan politik.

Teguran bagi Megawati 

Kembali ke soal twasiyah Megawati. Dalam khutbahnya seperti dikutip di atas tadi, Megawati juga menggunakan diksi "cobaan" untuk menjelaskan bahwa berkuasa itu enak. Ini sahih tentu saja. Naluri purba setiap orang pasti akan membenarkan tesis ini. Bahkan para pemimpin dengan level kualitas negarawan sekalipun tidak akan membantah tesis ini.

Hanya bedanya, para negawaran menggunakan kekuasaan itu untuk kemaslahatan bersama rakyatnya (bonnum publicum), sementara politisi lebih mementingkan kemaslahatan pribadi, keluarga, kelompok dan para kroninya. Negarawan menyikapi dengan sadar bahwa kekuasaan itu bersifat sementara dan memang harus tak boleh abadi, sementara politisi cenderung mengumbar nafsu primitif untuk melanggengkan kekuasaan di tangannya.

Tetapi di samping itu ada sisi lain yang tak kalah penting untuk dimuhasabahi soal "cobaan" itu. Bukan hanya oleh Jokowi dan para kroninya sebagaimana disasar dalam khutbah Megawati. Melainkan juga oleh Megawati sendiri dan elit-elit partainya di PDIP. Ringkasnya, bukan hanya Jokowi yang saat ini sedang diuji atau diberikan cobaan oleh Allah, tetapi juga Megawati. Saya bahkan melihat, selain diuji, Megawati nampaknya juga sedang mendapat teguran keras.

Bentuk ujian sekaligus teguran yang paling mutakhir bagi Megawati dan PDIP secara keseluruhan antara lain adalah ditinggalkan oleh sejumlah kader terbaiknya, bahkan diikuti oleh banyak basis masanya di beberapa daerah. Jika sikap dan pandangan warganet dapat dianggap merepresentasikan sikap dan pandangan publik, ujian dan teguran itu bahkan berlangsung cukup masif.

Dalam konteks perhelatan Pemilu 2024 ini, saya melihat ada dua fenomena penting yang nampaknya perlu direspon sebagai ujian sekaligus teguran oleh Megawati.

Pertama terkait dengan hengkangnya sejumlah kader PDIP. Dalam konteks ini saya melihat pangkal sebab keluarnya mereka adalah karena model kepemimpinan Megawati yang sentralistik dengan otoritas yang terlampau besar, yang membuat mereka tidak nyaman lagi berjuang di jalan politik bersama PDI Perjuangan.

Kedua terkait suara dan sikap publik yang negatif seperti antara lain diartikulasikan melalui berbagai jejaring media sosial. Dalam konteks ini saya melihat pangkal sebabnya adalah adanya kecenderungan arogansi kekuasaan yang berlangsung, setidaknya selama Megawati dan PDIP memimpin koalisi pemerintahan sejak Pemilu 2014. Mungkin saja kurang disadari, tetapi fenomena ini mudah dibaca, jejaknya secara digital gampang ditelusuri.

Jangan-jangan, hasil survei yang menunjukkan tren stagnan bahkan penurunan elektabilitas Ganjar-Mahfud belakangan ini faktor penyebabnya adalah karena dua fenomena ini. Wallahu'alam        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun